Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
_______
“RPJMD sejatinya adalah soal menenun makna kolektif, bukan sekadar mengejar angka-angka.”
PERENCANAAN pembangunan daerah tidaklah semata-mata urusan teknokratik yang dingin, kaku, dan netral. Ia sesungguhnya merupakan medan pertarungan identitas, narasi masa depan, dan tafsir atas sejarah lokal. Dalam konteks itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) semestinya tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi juga manifes dari jati diri kolektif suatu daerah.
Identitas daerah bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hasil negosiasi terus-menerus antara sejarah, budaya, sumber daya alam, dan aspirasi masyarakat.
Secara formal, RPJMD memang merupakan dokumen perencanaan pembangunan lima tahunan yang disusun oleh pemerintah daerah setelah kepala daerah terpilih, sesuai Inmendagri No. 02/2025. Ia mengacu pada visi, misi, dan program kepala daerah terpilih serta memuat arah kebijakan pembangunan yang strategis, sebagaimana acuan Permendagri No. 86/2017.
Namun, di balik struktur teknokratiknya, RPJMD sejatinya merupakan blueprint masa depan daerah yang tidak lepas dari tafsir sosial-budaya.
Perencanaan yang tidak peka terhadap identitas lokal berisiko menghasilkan pembangunan yang “asing di kampung sendiri.” Sebaliknya, ketika RPJMD disusun dengan memperhitungkan identitas daerah, maka pembangunan menjadi proses yang membumi, inklusif, dan berkelanjutan (lihat, Sairin, 2002: 23).
Di sisi lain, diperlukan penguatan identitas daerah mencakup nilai-nilai, simbol, narasi sejarah, dan cara hidup masyarakat yang khas. Identitas ini dapat termanifestasi dalam bahasa lokal, arsitektur tradisional, sistem kekerabatan, hingga pola relasi manusia dengan alam. Dalam banyak kasus, identitas ini telah tergerus oleh model pembangunan yang seragam dan berorientasi pasar (Scott, 1998: 45).
Sebuah riset pernah menunjukkan, bahwa pembangunan yang mengabaikan kearifan lokal justru menimbulkan resistensi sosial. Maka, mengintegrasikan identitas daerah dalam RPJMD bukanlah romantisme belaka, melainkan strategi memperkuat legitimasi kebijakan dan memperdalam partisipasi masyarakat.
***
Langkah pertama untuk menjadikan RPJMD sebagai ekspresi identitas daerah adalah dengan menyusun visi-misi kepala daerah yang berakar pada narasi lokal, yang kiranya dapat dijadikan landasan etis dalam merancang program sosial dan penataan ruang dalam RPJMD.
Kedua, diperlukan pelibatan tokoh adat, budayawan, dan masyarakat sipil dalam proses Musrenbang. Ini menjadi penting untuk menangkap dan menyerap aspirasi yang bersifat kultural. Ketiga, RPJMD perlu memuat indikator kinerja yang mencerminkan keberhasilan pelestarian budaya lokal, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata.
Menenun Masa Depan
RPJMD tidak boleh sekadar menjiplak template dari pusat atau sekadar memenuhi kewajiban administratif. Ia harus menjadi ruang artikulasi identitas daerah—sebuah naskah hidup tentang bagaimana masyarakat membayangkan masa depannya sendiri.
Dalam konteks otonomi daerah, pembangunan haruslah menjadi praktik kultural yang berakar pada tanah dan jiwa masyarakatnya.
Seperti dikatakan Clifford Geertz, budaya bukanlah sekadar sistem simbol, tetapi jaring makna yang dijalin manusia, (Geertz, 1973: 89).
Maka, membangun daerah melalui RPJMD sejatinya adalah juga soal menenun makna kolektif, bukan sekadar mengejar angka-angka. (*)
Tinggalkan Balasan