Oleh: A. Malik Ibrahim

_______

“Nampaknya Wagub dan Sekprov Cuma prom – pajangan meja birokrasi; kapasitasnya tak dianggap”, AMI

KETIKA Sherly-Sarbin ( SheSar) dilantik sebagai Gubernur dan Wakil pada tanggal 20
Februari 2025, penilaian atas kemungkinan blunder hampir nol persen. Ketika itu
banyak kalangan begitu optimis bahwa kepemimpinan ini akan memiliki respek dan
ekspektasi yang luar biasa.

Tentu, publik Maluku Utara berharap bahwa perubahan kepemimpinan harus dapat
memberi atmosfer baru pada lanskap birokrasi. SheSar harus membiasaakan diri
bergulat dengan cara kinerja birokrasi modern seperti: budaya kerja, efisensi dan daya saing-sesuatu yang dulu hanya dikenal secara teoritis.

Disrupsi yang mendobrak kebekuan birokrasi, sekaligus mendorong terciptanya
akuntabilitas dengan kepemimpinan yang kuat. Karena perubahan menjanjikan perbaikan yang akan tampak dalam kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Di sini kepemiminannya dituntut berperan powerfull melawan kenyamanan (comfortability), tradisi atau kebiasaan-kebiasaan buruk (seperti KKN, indisipliner, kebijakan pilih kasih dan tidak berpihak pada interest daerah tertentu).

Jika bercermin ke belakang, SheSar seharusnya sadar bahwa selama ini komunikasi Pemprov dan Kabupaten/Kota tak berjalan maksimal. Komunikasi SheSar sangat tak simpatik oleh narasi-narasi arogan dan megalomania tentang kebijakan publik dan isu strategis. Ketidakjelasan fungsi Humas, yang akhirnya masyarakat digiring oleh opini yang tidak benar.

Mirisnya lagi, Sherly membantah adanya pembentukan tim percepatan pembangunan
yang diketuai Abjan Sofyan, (Penamalut, 22 April 2025). Menurutnya, “dirinya tidak pernah membentuk tim percepatan pembangunan, apalagi mengangkat orang-
orangnya memimpin tim tersebut”. Sementara Sharbin Sehe bilang ” tak masalah. Itukan sah-sah saja”, (Malut Post, 16 April 2025).

Ini contoh betapa buruknya komunikasi Pemprov. Survei Penelitian dan Pengembangan Kompas pada 10-13 Februari menunjukkan pemerintah belum menerapkan komunikasi publik yang baik. Bagaimana publik bisa percaya, jika cara
komunikasi Pemprov buruk. Pagi lain, sore berubah. Selalu berpura-pura, lain lisan lain
pula dalam tindakan; sebuah kebohongan publik. Dua penggalan statemen SheSar tadi
begitu menyesatkan, sangat tidak komunikatif dan proaktif.

Pola dan etika komunikasi publik itu penting dan strategis. Ketika dinamika masyarakat terus berjalan, pemimpin yang merasa dirinya paling benar ternyata tidak mampu mendengar, memahami, apalagi mengakomodir dinamika tersebut. Maka dalam konteks politik modern, watak pongah dan pongo (tuli) memiliki garis pemisah
yang sangat tipis dengaan tabiat feodalisme kekuasaaan.

Pernyataan pejabat publik tidak bisa ngalor-ngidul. Informasinya harus terukur dan
akurat dalam membentuk persepsi orang. Karena pernyataan Gubernur atau Wakil tidak mewakili diri sendiri, tapi institusi Pemprov. Ini esensial dalam etika berpemerintahan. Sudah kuno pola kerja dengan cara penggiringan opini publik agar melihat sesuatu selalu dari sudut pandang pemerintah.

***

Dalam konteks keadilan pembangunan, hadirnya DBH untuk daerah akan diharapkan dapat membantu daerah-daerah dalam melakukan proses pembangunan,
meningkatkan pemerataan, dan menanggulangi eksternalitas negatif. Selain itu, diharapkan pula berkurangnya ketimpangan fiskal di pusat dan di daerah. Karena pada akhirnya, kita semua ingin mewujudkan Maluku Utara yang lebih maju dan sejahtera.

Tidak hanya itu, kebijakan SheSar mengutamakan membayar DBH untuk Kabupaten Halmahera Barat dan Halut ketimbang delapan Kabupaten/Kota lain adalah sebuah langkah yang salah.

“Dia mencontohkan, pembayaran utang DBH untuk Halut tahun 2023 diprioritaskan karena menyangkut keaktifan BPJS daerah yang telah non-aktif selama dua tahun. Hal ini berdampak langsung pada akses layanan kesehatan bagi sekitar 200 ribu masyarakat Halut. Sementara untuk DBH Halbar dibayarkan dengan pertimbangan daerah tersebut tidak memiliki cukup anggaran untuk membayar Tunjangan Hari Raya (THR) dan iuran BPJS menjelang Idul Fitri”, (Malut Post, 22 April 2025).

Ini aneh, padahal DBH juga merupakan hak masyarakat karena sumbernya berasal dari kontribusi masyarakat dalam bentuk pembayaran pajak kepada negara yang kembalikan dalam bentuk DBH sesuai regulasi atau amanah undang undang. Kelalaian dalam melaksanakan pembayaran DBH bukan saja sebagai bentuk pelanggaran hukum, tapi juga wujud penzaliman terhadap rakyat.

Sikap diskriminatif, inkonsistensi dan pilih kasih dalam pembayaran DBH menunjukan
rendahanya moralitas dan integritas pemimpin dalam mengamalkan nilai dan etika berpemerintahan.

Sejumlah Kabupaten Kota di Maluku Utara sudah jelas memiliki potensi sumber daya alam yang berbeda. Ada Kabupaten/Kota yang minim SDA tapi memiliki potensi di sektor jasa maupun perdagangan. Kota Ternate misalnya, minim SDA tapi memiliki
konstribusi sektor jasa yang besar terhadap APBD, tentunya sangat mengharapkan kucuran DBH tepat waktu, sehingga tidak menghambat pelaksanaan APBD-nya. Keterlambatan pembayaran DBH dengan utang lebih dari setahun sudah dipastikan
merusak tata kelola keuangan daerah yang telah dirancang Pemda dan DPRD.

***

Bagaimana pemahaman SheSar tentang kemakmuran (prosperity) yang meenjadi impian setiap daerah dan warga masyarakatnya dapat dicapai dengan hadirnya DBH? Kepentingan Kabupaten/Kota harus diprioritas tanpa ada sikap diskriminatif, hingga membentuk suatu persepsi publik yang baru dan membongkar persepsi lama terhadap Kabupaten/Kota yang selama ini dipandang sebelah mata.

Semangat Astacita jika dibaca, sessungguhnya memberi janji tegas terhadap
penguataan otonomi daerah. “Bahwa penataan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi instrumen kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas tata kelola pemerintah daerah yang dilakukan melalui harmonisasi hubungan pusat dan daerah, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah daerah, serta penguatan fondasi keuangan daerah”.

Pada akhir ke manakah bentuk nyata visi Anda untuk rakyat? Rasanya kita perlu belajar lagi bahwa kemiskinan tak hanya berhubungan dengan keterpencilan, buta huruf, gizi buruk, pendidikan rendah, dan tak adanya sumber daya yang memadai.
Tetapi juga dibentuk oleh kebiasaan dan mindset. Sebab, bisa jadi kebijakan diskriminatif dalam membayar DBH (prioritas orang dalam) adalah cermin dari dangkalnya mindset berpemerintahan. (*)