Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

“Apa artinya menjadi orang pulau jika laut telah menjadi milik perusahaan?”

PADA lautan luas, dengan hamparan gugusan daratan kecil yang oleh para pelaut kuno, dan sebagian para ahli menyebutnya sebagai “pulau” ternyata menyimpan misteri. Di sana terdapat satu bentuk keganjilan, satu metafora geografis paradoksal, “pulau tanpa laut”. Inilah istilah yang tidak hanya menantang logika spasial, tetapi juga menggugah kesadaran ekologis dan sosial kita tentang pulau sebagai entitas hidup yang dirampas hak lautnya.

Pulau tanpa laut merupakan konsep kritis yang menggambarkan kondisi teritorial sebuah pulau yang tercerabut dari relasi ekologisnya dengan laut. Secara fisik, pulau itu masih berada di tengah samudra, tetapi secara sosial, politik, dan ekonomi, ia telah tercerabut dari laut, teralienasi dari wilayah yang dahulu menjadi sumber kehidupan dan identitasnya. Dalam konteks ini, laut tidak lagi menjadi ruang produksi, pertukaran, atau spiritualitas, melainkan sekadar latar belakang formal laporan resmi yang perlahan kehilangan maknanya.

Pulau-pulau kecil di Indonesia, terutama yang ditemukan di Maluku Utara, banyak pulau mengalami proses ini. Laut yang dahulu merupakan “halaman depan” kini menjadi “halaman belakang” atau bahkan tembok pembatas antara ruang eksklusi dan ruang komodifikasi. Proyek-proyek tambang, reklamasi, dan perluasan industri pariwisata telah merebut garis pantai, menciptakan lanskap baru di mana laut bukan lagi milik masyarakat pesisir, melainkan milik modal dan negara (Bakker, 2010: 711).

Dalam catatan antropolog Clifford Geertz (1983), “tempat bukan hanya lokasi, melainkan titik temu antara makna dan pengalaman.” Maka ketika sebuah pulau kehilangan lautnya, baik secara akses maupun relasi kultural, ia kehilangan sebagian dari jati dirinya. Dalam riset Anna Lowenhaupt Tsing (2015), menyebutkan, kawasan pesisir disebut sebagai “ruang antara” (in-between space), tempat hibriditas ekologis dan sosial bertemu. Jika ruang ini ditutup, maka bukan hanya ruang hidup yang musnah, tetapi juga jaringan relasi ekologis yang lebih luas ikut hancur.

Pulau tanpa laut merupakan pulau yang kehilangan kemampuan bermimpi. Laut yang dahulu menjadi ruang spekulasi kosmologis, dihuni oleh roh-roh leluhur dan dewa penjaga, kini menjadi batas administrasi zona industri. “Kami tidak lagi bisa menangkap ikan di teluk kami sendiri,” ungkap seorang nelayan, yang wilayah lautnya kini dikuasai oleh konsesi tambang nikel (Walhi, 2023: 9). Apa artinya menjadi orang pulau jika laut telah menjadi milik perusahaan?

Lebih jauh, kondisi ini memperlihatkan transformasi hubungan manusia dan ruang yang dikendalikan oleh logika kapital. David Harvey (2005) menyebutnya sebagai accumulation by dispossession—akumulasi melalui penggusuran. Masyarakat pulau digusur dari lautnya, bukan melalui kekerasan fisik, melainkan melalui administrasi legal dan investasi. Undang-undang dan izin menjadi alat pembenaran perampasan, sementara masyarakat dibiarkan menjadi penonton dari drama yang ditulis bukan oleh mereka.

Namun pulau tidak pernah benar-benar sunyi. Dalam diamnya, ia menyimpan cerita, amarah, dan kerinduan. Beberapa komunitas mulai menolak narasi eksklusi ini. Mereka membentuk koperasi perikanan, melawan proyek reklamasi, atau sekadar menolak menjual tanah pesisirnya. Di sinilah kita melihat bahwa pulau tanpa laut bukan akhir dari cerita, tetapi pangkal dari perlawanan yang senyap.

Melalui realitas yang dilihat dsn dirasakan warga pesisir, dapat ditulis: “kami bukan tinggal di pulau, tapi tinggal di laut yang menampung pulau.” Baris diksi ini merekonstruksi cara pandang tentang ruang: laut bukan pelengkap pulau, melainkan medium utamanya. Maka mencabut pulau dari laut, sama dengan mencabut akar dari pohon.

Dalam semangat ekologi politik, kita perlu mengakui bahwa pulau tidak bisa dipisahkan dari lautnya. Relasi ini bukan sekadar geografis, tetapi ontologis. Membicarakan keadilan ekologis berarti membicarakan juga hak masyarakat pulau atas laut mereka—hak untuk memancing, menyelam, menyembah, dan bermimpi.

Akhirnya, pulau tanpa laut adalah teguran bagi kita semua—tentang bagaimana dunia yang dibangun atas nama pembangunan dan investasi justru merampas kehidupan. Ia adalah metafora yang lahir dari luka ekologis, tetapi juga bisa menjadi api kecil perlawanan yang menolak padam. (*)