Oleh: Ilham Djufri, ST.,M.Kom
Sekretaris Pemuda ICMI Maluku Utara
_______
DALAM lanskap media sosial yang terus berkembang, TikTok telah menjelma menjadi salah satu platform paling dominan. Dengan video pendek yang adiktif dan algoritma cerdas yang mendukung pengalaman pengguna, TikTok berhasil menarik perhatian lebih dari satu miliar pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. TikTok kini menjelma sebagai salah satu platform media sosial terpopuler di dunia, dengan jumlah pengguna aktif bulanan yang mencapai sekitar 1,74 miliar pada kuartal keempat tahun 2024. Di Indonesia, jumlah penggunanya mencapai 157,6 juta, menempatkan negara ini sebagai pengguna TikTok terbanyak secara global.
TikTok menjadi platform yang menyenangkan bagi penggunanya, namun menyimpan persoalan etika dan teknologi yang perlu diperhatikan. Salah satu isu utama adalah bagaimana algoritma merekomendasikan konten kepada pengguna. Fitur For You Page (FYP) menjadi kekuatan utama TikTok dalam menghadirkan pengalaman yang dipersonalisasi. Algoritma TikTok bekerja dengan menganalisis perilaku pengguna seperti durasi menonton, komentar, likes, dan shares. Berdasarkan data tersebut, sistem menyajikan konten yang dianggap paling relevan dengan preferensi masing-masing individu.
Pengguna tidak perlu mengikuti akun tertentu karena algoritma secara otomatis menyesuaikan isi beranda mereka. Hal ini menciptakan pengalaman yang terasa personal dan adiktif bagi pengguna. Meskipun tampak menguntungkan, personalisasi ini menimbulkan pertanyaan tentang netralitas informasi yang disajikan. Ada kekhawatiran bahwa pengguna hanya terpapar pada konten yang sejalan dengan preferensinya sendiri. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali dampak etis dari penggunaan algoritma dalam penyebaran informasi di platform seperti TikTok.
Kemudahan yang ditawarkan TikTok sering kali membuat kita lupa bahwa kita sedang berada dalam gelembung informasi yang sempit, yang dalam literatur digital disebut sebagai filter bubble. Saat algoritma terus menyajikan konten yang serupa dengan preferensi kita sebelumnya, pengguna terjebak dalam pola pikir yang homogen. Dampaknya bisa beragam. Mulai dari penguatan stereotip, polarisasi opini, hingga pembatasan wawasan. Dalam konteks literasi digital, ini menjadi tantangan besar. Sebab salah satu tujuan literasi digital adalah membuka ruang berpikir kritis dan wawasan yang luas, bukan mempersempitnya.
Dari sisi etika, algoritma TikTok menimbulkan beberapa pertanyaan serius. Apakah pengguna benar-benar memahami bagaimana data mereka digunakan? Seberapa transparan TikTok dalam menjelaskan sistem rekomendasinya? Apakah pengguna bisa memilih untuk keluar dari sistem personalisasi ini? Kurangnya transparansi dalam proses algoritmik berisiko mengaburkan batas antara manipulasi dan kenyamanan. Ketika pengguna tidak menyadari bahwa apa yang mereka lihat adalah hasil dari proses teknis yang tertutup, maka potensi untuk memanipulasi opini publik pun terbuka lebar.
Sebagai penggiat literasi digital, kita perlu mendorong pemahaman yang lebih dalam terhadap bagaimana teknologi bekerja. Edukasi tentang algoritma dan dampaknya perlu ditanamkan sejak dini. Tidak cukup hanya melek teknologi, tapi juga harus kritis terhadap teknologi. TikTok, dan platform serupa, perlu diminta untuk lebih transparan, memberikan kontrol yang lebih besar kepada pengguna, serta memperhatikan aspek etika dalam setiap inovasinya. Di sisi lain, pengguna juga perlu diberdayakan agar tidak hanya menjadi konsumen pasif dari informasi yang disuguhkan oleh mesin.
Algoritma rekomendasi TikTok memang membawa banyak manfaat, namun juga menyimpan risiko yang tidak boleh diabaikan. Di era digital ini, literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memahami cara kerja teknologi yang membentuk pandangan kita terhadap dunia. Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pemikir kritis atas apa yang kita konsumsi setiap hari termasuk konten yang “direkomendasikan” kepada kita. (*)
Tinggalkan Balasan