Oleh: Bung Opickh
Penulis Buku
________
BERCERITA tentang buruh, kita akan terseret ke lorong-lorong sejarah era Renaisans, revolusi industri di Eropa dan Amerika Serikat sekitar abad 18 sampai 19. Berbincang tentang pasar yang tak boleh diintervensi negara. Upah dan jam kerja buruh yang tak seimbang, orang kaya makin kaya dan orang miskin terus miskin sampai menjadi budak dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Itulah wajah ekonomi dunia kala itu.
Buruh adalah orang yang berkerja dengan upah tertentu. Istilah ini berasal dari bahasa Latin laborōr, yang berarti “kerja.” Kata buruh tersemat cerita tentang penindasan, pemerasan, kesenjangan dan revolusi. Tentang kesemua itu, kita akan mengenal lebih dekat dua filsuf ekonomi yang monumental: Adam Smith dengan bukunya ‘The Wealth of Nations Ekonomic” dan Carl Max dengan bukunya “Das Kapital”.
Berbeda ide tetapi satu dalam modernitas; memajukan ekonomi global dan mensejahterakan rakyat secara totalitas. Smith dengan gagasan kapitalisme, mendorong pasar bebas, tanpa campur tangan pemerintah, akan lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat melalui mekanisme pasar. Sementara Karl Marx mendorong sosialisme dan menciptakan masyarakat baru yang bebas dan setara. Ia dikenal sebagai tokoh utama sosialisme modern.
Tetapi yang terjadi jauh dari harapan kita semua. Lebih parah dari Eropa dan Amerika abad 18, di sana yang lebih menonjol adalah hak upah dan waktu pekerja. Di Indonesia selain upah dan jam kerja. Keselamatan kerja, banjir, longsor dan agraria: penyerobotan tanah rakyat menjadi tagline utama di hampir di semua dinding media akhir-akhir ini.
Dari sini melahirkan frasa “buruh: sejahtera atau senjata? Jika sejahtera upah, dan jam kerja tidak lagi diperdebatkan. Tanah tak lagi longsor, banjir di Sagea dan Wasile tak akan terjadi dan persolan tanah rakyat tak akan ada. Tapi itu telah, sudah dan masih terjadi. Tentu kesimpulannya adalah buruh dan rakyat tak sejahtera.
Buruh lebih tepat disebut senjata. Artinya negara mendengungkan lapangan kerja, dengan konsep hilirisasi industri agar siapa saja bisa pergi menjadi pekerja “buruh”. Masyarakat diam dan setuju karena ini soal lapangan kerja padahal seperti mimpi seorang Abunawas tentang kehidupan yang bahagia.
Senjata bukan berarti bentuknya tetapi pembungkam mulut dan hak-hak tanah yang dieksploitasi. Rakyat tertodong, dijaga ketat seakan berada di dalam penjara kolonial. Rakyat yang berada di lingkar tambang tak bisa tidur dengan nyenyak karena banjir di waktu hujan, tempat-tempat wisata sepi karena air sungai yang kotor bahkan rakyat kesulitan air bersih. Sebab sungai satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Rakyat dan pemuda berhadap-hadapan dengan keamanan, bentrok dan menjatuhkan korban seperti tragedi “Haymarket, 4 mei 188 di kota Chicago”. Sepertinya buruh dan rakyat tak pernah sejahtera, mereka dipaksa kembali ke sejarah revolusi industri di Eropa dan Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan besar berjejeran di Maluku Utara. Data kesejahteraan Maluku Utara menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, tetapi tingkat kemiskinan belum menunjukkan penurunan yang signifikan.
Ekonomi Maluku Utara tumbuh 13,73% pada tahun 2024, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor pengadaan listrik dan gas. Namun, tingkat kemiskinan di Maluku Utara masih cukup tinggi. Maluku Utara juga memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, seperti panas bumi, hidro, tenaga surya, dan biomassa. Tetapi juga berpotensi erosi, abrasi dan konflik yang merajalela, dalam catatan sejarah, kini dan nanti.
Apa yang salah? Siapa yang menjadi aktor atas kesenjangan sosial di Maluku Utara? Kepolosan dan kekurangan literasi? Tidak rakyat terjebak atas dalam janji manis hilirisasi. Lalu apa solusinya? Menurut Jurgen Habermas, khususnya “Teori Wacana Demokrasi”, berfokus pada bagaimana komunikasi dan argumen rasional memainkan. Peran penting dalam pengambilan keputusan politik dan dalam membangun masyarakat yang demokratis.
Ia menekankan pentingnya ruang publik yang bebas dan terbuka untuk memungkinkan diskusi dan debat yang konstruktif, yang pada gilirannya dapat menghasilkan kesepakatan yang sah dan didasarkan pada alasan yang rasional demi keadilan dan kesejahteraan sosial.
Jadi, pilihannya adalah negara harus benar-benar hadir, memediasi salah satunya melaksanakan dialog interaktif. Mengundang semua elemen masyarakat, buruh, kepemudaan dan instansi otoritas guna menyatukan persepsi untuk menyelesaikan semua personal yang terjadi di Maluku Utara terutama masyarakat yang terkait dengan pertambangan. Rakyat tak butuh pabrik, rakyat hanya membutuhkan negara memastikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Bahwa sejahtera adalah hal yang pasti.
Itulah yang diperjuangkan dalam sejarah kelam pada tanggal, 01 Mei 1886 tentang hak, jam kerja dan kesetaraan juga keadilan para buruh. Demontrasi besar-besaran terjadi di Amerika Serikat dengan masa aksi sekitar 300.000 buruh. Memboikot aktivitas seluruh pabrik. Bentrok dengan pihak keamanan yang di kenal sebagai tragedi “Haymarket”.
Di Prancis tahun 1889, ribuan buruh dari berbagai kota dari penjuru dunia berkumpul di kota Paris untuk melakukan resolusi, agar hak-hak buruh dituangkan dalam aturan internasional, yang dikenal dengan “kongres Paris”. Peter McGuire sebagai pencetus Hari Buruh dan Matthew Maguire merupakan salah satu pemimpin buruh yang paling terkenal di abad ke 19.
Dari teori ekonomi dan tapak tilas sejarah diatas, kita mestinya telah memiliki referensi untuk mengembangkan industri atau yang lebih keren dikenal dengan konsep “hilirisasi”. Juga tentang kesejahteraan dan keadilan buruh serta masyarakat yang berada di lingkungan tambang, termasuk di provinsi Maluku Utara.
Jangan lagi terjebak dan terkungkung dalam nestapa masa lalu. Buruh sejahtera, buruh lokal tak lagi berkonflik dengan orang asing, tanah rakyat tak dianeksasi, sungai tak lagi tercemar, adalah perwujudan negara yang demokratis.
Selamat hari buruh sedunia, 01 Mei 1886-2025. (*)
Tinggalkan Balasan