Oleh: Herman Oesman
Dosen FISIP UMMU
______
“Menyambut 26 tahun, Kota Ternate, kota rempah dengan puisi panjang yang ditulis oleh tinta sejarah”
TANGGAL 29 April 2025, Kota Ternate akan melengkapi kelahirannya sebagai kota formal, yang menjadi pernik melengkapi usia sejarahnya yang telah ditulis dengan panjang.
Kota kecil yang tegak berdiri di kaki Gamalama itu akan meniupkan napas panjang, mengenang dirinya yang sudah menua: 26 tahun usia administratifnya sebagai kota otonom. Namun berabad-abad umurnya telah tertoreh sebagai tapal rempah dunia, melampaui usia administratifnya.
Ternate bukan kota yang lahir dari tanah kosong. Ia dibangun dari riuh angin bahari, dari jejak Portugis dan Spanyol, dari darah kesultanan dan semerbak pala dan cengkih yang memanggil dunia datang mengerubungi timur jauh. Kota ini, dalam segala keanggunannya yang tersembunyi dan segala luka kolonialnya yang tertanam, bukan semata kota—ia adalah puisi panjang yang ditulis oleh sejarah.
Di tanahnya, berderet bait-bait sajak heroik yang penuh kisah tentang kesatria, perjuangan, dan pengorbanan.
Sejak ditetapkan sebagai daerah otonom pada 29 April 1999 melalui UU Nomor 11/1999, Kota Ternate menjelma menjadi pusat peradaban di Maluku Utara. Kota ini bukan saja ibukota administratif—Ia merupakan simbol kolektif identitas masyarakat kepulauan yang membentang dari Morotai hingga Obi.
Namun sesungguhnya, sejarah Ternate telah melampaui angka-angka dan akta hukum. Kota ini telah hidup sejak abad ke-13, ketika Kesultanan Ternate tumbuh menjadi kekuatan maritim dan ekonomi utama di wilayah timur (lihat, Andaya, 1993:89).
Dari sini, jalur perdagangan rempah mengalir, menjadikan kota ini sasaran imperialisme Eropa yang haus akan kayu manis dan cengkih. Bartholomeus Diaz, Francisco Serrão, hingga Cornelis de Houtman, semuanya meninggalkan jejak langkah di pelabuhan-pelabuhan tua Talangame-Bastiong Ternate.
Setiap gang sempit di kelurahan Gamalama, setiap tangga batu menuju Benteng Oranje, dan setiap cerita rakyat tentang jin dan laut, adalah bagian dari tubuh Ternate yang menyimpan ingatan, menyimpan simbolisasi makna.
Seperti ditulis Kuntowijoyo, sejarah bukan hanya kumpulan data, tetapi ingatan kolektif yang membentuk makna (Kuntowijoyo, 2001: 33).
Maka Ternate adalah ingatan itu sendiri—Ia mengingat luka penjajahan, tetapi juga merayakan keteguhan budaya.
Dari puncak Kastela hingga bibir Danau Tolire, anak-anak Ternate belajar menyusun sejarahnya sendiri. Mereka tumbuh dalam bahasa yang memeluk dan adat yang tak lekang oleh waktu. Bahasa Ternate masih hidup, dipelihara bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai jantung identitas. Bahasa inilah yang pelan-pelan mulai meluruh.
Dalam konteks ini, kota kecil nan memesona, tetap mengajarkan bahwa modernisasi tak harus menanggalkan warisan. Karena segala lekuk tubuh kota, mestinya menabalkan cerita-cerita dan pengalaman, agar kelak tak ada lagi yang lupa jalan kembali, karena tak ada lagi cerita tentang kota ini.
Kini, perjalanan 26 tahun setelah otonomi diberi, Ternate terus berjalan dan berdiri di persimpangan zaman.
Pada satu sisi, kota ini sedang terus menenun cita-cita dan membangun dirinya sebagai kota jasa, pariwisata, dan sejarah. Sementara pada sisi lain, terpampang wajah Kota Ternate yang terancam oleh penggusuran ruang-ruang hidup, oleh gentrifikasi dan proyek-proyek pembangunan yang tak selalu peka terhadap nilai-nilai lokal yang hidup dalam pengalaman warga.
Perlu disadari, sejarah Kota Ternate merupakan sejarah perlawanan. Dari Sultan Baabullah yang mengusir Portugis pada 1575, hingga generasi muda hari ini yang melawan amnesia budaya melalui digitalisasi arsip, kafe-kafe nan bercahaya dan geriap, seni dan musik yang saling bersahutan, jalan raya yang setiap saat dibungkus tenda, dan hamparan sampah berserakan nan menumpuk, juga ruang kota yang sesak oleh parkiran tak beraturan, adalah cerita yang harus ditulis dalam ingatan.
Kota ini harus terus dan terus menulis ulang dirinya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), “Seseorang harus menuliskan sejarahnya sendiri, kalau tidak, ia akan dilupakan begitu saja.”
Ternate pada 29 April 2025 bukanlah kota yang telah usai ditulis. Ia adalah naskah terbuka, tempat waktu, laut, dan manusia saling berbincang. Kota ini akan terus tumbuh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai makna. Maka mari rayakan dua puluh enam tahun kota ini bukan dengan pesta semata, tapi dengan rasa syukur dan merenungi apa yang telah, sedang, dan akan kita bangun bersama.
Sebab Ternate bukan sekadar kota. Ia adalah jiwa. Ia adalah puisi. Ia adalah rumah. (*)
Tinggalkan Balasan