Oleh: Dr. Ricco Yubaidi, S.H., M.Kn

Notaris, PPAT, Dosen PTS

_______

BANYAK orang berpikir bahwa harta bawaan seperti tanah hibah atau warisan yang diperoleh sebelum atau bahkan setelah berlangsungnya pernikahan akan selamanya menjadi milik pribadi. Pandangan ini memang tidak sepenuhnya salah, karena secara hukum, harta bawaan diakui sebagai milik masing-masing suami atau istri. Namun dalam praktik kehidupan berumah tangga, batasan tersebut seringkali menjadi lebih kompleks dari yang dibayangkan. Setelah menikah, dinamika pengelolaan harta sering melibatkan kontribusi bersama, baik dalam bentuk perbaikan, renovasi, atau peningkatan nilai dari harta tersebut.

Sebagai contoh, tanah atau rumah yang diperoleh melalui hibah atau warisan kemudian direnovasi menggunakan dana hasil kerja keras bersama selama pernikahan. Dalam situasi seperti ini, meskipun tanah tersebut awalnya adalah harta bawaan, kontribusi pasangan dalam meningkatkan nilai harta tersebut diakui secara hukum dan sosial. Karena itulah, ketika akan dilakukan tindakan hukum atas tanah tersebut, seperti menjual, menghibahkan kembali, atau membebankan hak tanggungan, diperlukan persetujuan dari pasangan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahkan mewajibkan adanya persetujuan suami atau istri untuk memastikan bahwa tidak ada keberatan dari pihak pasangan yang mungkin merasa memiliki andil dalam peningkatan atau pengelolaan harta itu.

Penting untuk dipahami bahwa permintaan persetujuan pasangan bukan berarti menghapus status harta bawaan. Persetujuan tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum untuk mencegah potensi sengketa di kemudian hari. Ini juga mencerminkan prinsip keadilan dan transparansi dalam rumah tangga, di mana kedua belah pihak dihargai kontribusinya, baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Dalam konteks ini, keterlibatan pasangan sebaiknya dipandang sebagai bagian dari membangun keharmonisan rumah tangga, bukan sebagai ancaman terhadap hak pribadi atas harta bawaan.

Bagi mereka yang ingin menjaga kejelasan status harta bawaan, langkah-langkah seperti membuat perjanjian pranikah atau perjanjian pemisahan harta bisa dipertimbangkan. Selain itu, penting untuk secara tegas memisahkan biaya yang digunakan untuk renovasi atau peningkatan harta agar tidak bercampur dengan harta bersama. Namun lebih dari itu, komunikasi yang terbuka dan saling menghargai dalam pengelolaan harta menjadi kunci utama. Tidak jarang, permasalahan hukum dalam keluarga justru berawal dari kurangnya komunikasi dan kejelasan sejak awal.

Banyak yang beranggapan bahwa cukup dengan bukti-bukti dokumen sederhana, seperti kuitansi atau catatan pribadi, dapat membuktikan bahwa pasangan tidak ikut berkontribusi terhadap pengelolaan atau peningkatan nilai atas tanah hibah atau warisan. Namun dalam praktik hukum, pembuktian semacam itu seringkali menghadapi tantangan besar. Pengadilan akan lebih mempertimbangkan adanya perjanjian resmi, seperti perjanjian perkawinan yang dibuat di hadapan notaris sebelum atau selama berlangsungnya perkawinan, sebagai bukti kuat pemisahan harta. Tanpa perjanjian tersebut, klaim mengenai pemisahan hak atas harta menjadi sangat rentan untuk diperdebatkan dan sulit untuk dibuktikan secara meyakinkan.

Dalam konteks ini, peran notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) menjadi sangat penting. Notaris dan PPAT berperan memastikan bahwa setiap transaksi atau tindakan hukum yang berkaitan dengan tanah hibah atau warisan dilakukan dengan memperhatikan hak-hak pasangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Demikian juga Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi pertanahan, mewajibkan persetujuan suami atau istri dalam berbagai proses administrasi pertanahan untuk melindungi kepentingan semua pihak dan menghindari terjadinya sengketa di kemudian hari. Dengan keterlibatan para pejabat resmi ini, proses peralihan hak atas tanah dapat berjalan lebih aman, tertib, dan memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. (*)