Tapi soal ikan jangan ditanya. Lagunanya begitu jernih, kami bisa melihat ikan-ikan yang berenang siap dipancing. Alat pancing yang kami bawa seakan berontak minta segera dikeluarkan.
Tapi kami masih harus melanjutkan pelayaran. Mesti tiba di Daga sebelum gelap.
Lautan berubah warna hijau tosca menandakan kami mulai masuk laguna Daga. Laguna di Daga adalah seteduh-teduhnya lautan.
Kami seakan masuk ke dunia lain. Dunia tanpa jaringan internet dan riuhnya media sosial.
Matahari mulai tenggelam ketika kami berlabuh di Daga. Jembatan kayunya tak laik disandari akibat gempa bumi dahsyat 2019 kemarin. Perahu harus sandar di sela-sela mangrove.

Dari balik rimbunan mangrove, muncul perkampungan nelayan. 15 rumah panggung, aula terbuka, dan sebuah musala berdiri sederhana. Listrik menggunakan tenaga surya.
Rumah Mama Ia adalah rumah pertama di baris perkampungan itu. Ibu empat anak ini juga orang pertama yang menggali sumur air tawar di Daga.

Para nelayan yang sudah lebih dulu tiba menyambut kami dengan senyum malu-malu. Tapi begitu diajak ngobrol, orang-orang tangguh itu begitu terbuka.
Tinggalkan Balasan