Alat pancing kami mulai difungsikan sejak malam pertama tiba. Ikan karang seperti kerapu, kakap, bubara, ikan tato (ayam-ayam), tikus-tikus, hingga pelagis seperti cakalang dan tuna -yang kami pancing di rumpon- mendarat di ujung nilon.

Tiap ada perahu nelayan masuk, rumah Mama Ia selalu kebagian hantaran ikan.

Tangan wanita berusia 51 tahun itu sigap memasak berbagai resep untuk serumah. Beragam ikan bakar, ikan goreng, ikan kuah, popeda, dabu-dabu adalah menu yang tersedia tiap hari di rumah.

Ikan hasil tangkapan nelayan. (tandaseru/Sahril Abdullah).

Stok ikan di dapur tak pernah habis berkat kebaikan alam dan para nelayan.

Kicau burung dan kokok ayam jadi teman sehari-hari di Daga. Maleo berlarian di depan rumah merupakan pemandangan biasa.

Burung Maleo di Pulau Daga. (tandaseru/Sahril Abdullah).

Di para-para, nelayan menjemur ikan garam yang diolah dari ikan karang. Mereka juga mengasapi ikan untuk dijual.

Kekayaan bahari Kepulauan Widi pun berlaku di Kapuraca, atol ketiga. Jika atol Daga jarak titik-titik terluarnya 13,7 km, Kapuraca mencapai 16,1 km.

Di tengah pulau terbesar Kapuraca, ada sebuah danau. Di aplikasi Google Earth, bentuk danau menyerupai mata. Sayang kami tak sempat mampir.

Lima hari di Widi rasanya tak cukup lama untuk liburan.

“Pola hidup sejenak berubah dari busy life jadi slow life. Dari yang sibuk ngecek medsos jadi sibuk ngobrol sama orang-orang baru. Benar-benar nikmat,” ucap Anti.