Oleh: Suleman Malik
Pegawai Honorer SMA Negeri 9 Kota Ternate
_______
KETIKA kita bicara tentang pemerataan pendidikan, perhatian publik sering kali masih terpusat pada sekolah-sekolah unggulan di perkotaan. Sementara itu, di balik gemerlap pembangunan infrastruktur dan narasi-narasi keberhasilan, terdapat realitas yang terabaikan: sekolah-sekolah pinggiran yang terus bergulat dengan kekurangan sumber daya. Itulah yang tengah kami alami di SMA Negeri 9 Kota Ternate, tepatnya di Kecamatan Moti.
Sejak ditunjuknya Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah pada 26 Mei 2025, tantangan besar langsung menyambut. Kekurangan guru untuk mata pelajaran inti seperti Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) Pendidikan Agama Islam (PAI), dan Prakarya Seni Budaya, bukan hal baru. Ini adalah permasalahan lama yang terus berulang, sekolah menjadi bagian dari sistem yang dibiarkan menanggung problem ini secara perlahan.
Plt kepala sekolah telah mengajukan usulan penambahan formasi guru melalui jalur resmi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara (Dikbud Malut). Setelah beberapa hari melaksanakan tugas, plt Kepala sekolah yang baru dan dewan guru bersama warga melakukan rapat perisapan menjelang semester genap tahun ajaran 20225.
Pertemuan itu dengan pembahasan mengenai kekurangan guru dan mencari jalan keluarnya. Sebab jika hal tersebut dibiarkan berlalu, berarti ratusan jam mata pelajaran yang tidak terlaksana dengan optimal. Akibatnya, kualitas pendidikan anak-anak di daerah seperti kami terus tertinggal.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), lebih dari 56.000 sekolah di Indonesia masih mengalami kekurangan guru, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Maluku Utara, sebagai salah satu provinsi kepulauan, masuk dalam kategori ini. Kecamatan Moti, yang terletak sekitar satu jam perjalanan laut dari pusat Kota Ternate, adalah contoh nyata dari tantangan geografis dan ketimpangan distribusi guru.
Kritik dan masukan dari masyarakat serta pemerhati pendidikan kami sambut dengan terbuka. Sebab kritik adalah wujud kepedulian, bukan ancaman. Namun, penting dipahami bahwa problem utama pendidikan di sekolah-sekolah pinggiran bukan semata-mata soal lemahnya manajemen di tingkat sekolah, melainkan akibat dari sistem tata kelola pendidikan yang belum berpihak pada daerah terpencil.
Isu-isu yang menyebutkan bahwa kehadiran Plt Kepala Sekolah menimbulkan gejolak di lingkungan sekolah adalah informasi yang tidak berdasar. Sejak hari pertama kepala sekolah yg menjalankan tugas, kami warga sekolah dan dewan guru. Bahkan menyambut baik dan hangat.
Kegiatan belajar mengajar di semester genap bahkan berjalan lancar, normal, dan penuh semangat. Menurut kami terkait dengan penunjukan plt. Kepala sekolah yg dilakukan oleh Dikbud Malut adalah resmi sesuai prosedur.
Masalah utama sebenarnya adalah lambannya respons pemangku kebijakan terhadap krisis pendidikan di wilayah terluar. Padahal, pendidikan tidak bisa menunggu. Setiap semester yang berlalu tanpa kehadiran guru yang memadai adalah kehilangan jam belajar yang tidak bisa dihitung dengan angka: potensi anak-anak bangsa yang terabaikan, ketimpangan yang terus melebar, dan keadilan sosial yang makin menjauh.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Namun dalam realitas sistemik, negara tidak bisa membiarkan rumah-rumah dan sekolah-sekolah berjalan sendiri tanpa dukungan.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan menjadi kewajiban konstitusional negara untuk memenuhinya.
Karena itu, sekolah-sekolah pinggiran seperti kami membutuhkan langkah nyata dari pemerintah, bukan sekadar janji. Kami perlu kebijakan afirmatif: distribusi guru yang adil, insentif untuk pengabdian di daerah terpencil, dan dukungan fasilitas yang memadai.
Tak kalah penting, kebijakan pendidikan harus bebas dari tarik-menarik kepentingan politik lokal yang sering kali mengorbankan mutu pendidikan.
Jika sekolah-sekolah di daerah terluar terus diabaikan, maka jangan heran jika ketimpangan sosial dan pendidikan akan terus menganga. Dan pada akhirnya, kita semua akan merasakan dampaknya. Sebab, tak ada bangsa yang bisa maju jika hanya sebagian rakyatnya yang berpendidikan. (*)
Tinggalkan Balasan