Oleh: Muis Ade

Pemerhati Pendidikan

________

DUNIA pendidikan di Kota Ternate kembali diuji, bukan hanya oleh krisis kekurangan guru yang tak kunjung terselesaikan, tetapi juga oleh keputusan yang mencederai akal sehat publik yakni ditunjuknya kembali seorang mantan kepala sekolah dengan rekam jejak buruk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah di SMA Negeri 9 Ternate.

Kekurangan guru merupakan masalah klasik namun serius. Di sejumlah sekolah negeri, termasuk SMA Negeri 9, kekosongan guru pada mata pelajaran inti seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), PPKN, prakarya dan seni budaya telah berlangsung cukup lama. Ironisnya, solusi konkret dari pemerintah provinsi terkesan lambat dan tidak terstruktur. Proses rekrutmen guru melalui jalur PPPK atau CPNS tidak dibarengi dengan pemetaan kebutuhan yang jelas, sehingga ketimpangan distribusi guru masih terjadi di mana-mana

Lebih menyakitkan lagi, di tengah situasi yang semestinya menuntut perbaikan manajemen pendidikan, publik justru dikejutkan dengan keputusan menunjuk kembali seorang mantan kepala sekolah yang sebelumnya diketahui memiliki rekam kepemimpinan yang buruk semasa menjabat sebagai kepala sekolah SMA Negeri 9 kota Ternate di periode sebelumnya. Keputusan ini bukan hanya tidak sensitif terhadap aspirasi warga sekolah, tapi juga melemahkan semangat reformasi tata kelola pendidikan yang transparan dan berbasis integritas.

Kepala sekolah bukan hanya jabatan administratif, tetapi juga simbol kepemimpinan moral dan akademik. Ketika posisi ini diberikan kepada figur bermasalah, maka pesan yang diterima oleh guru, siswa, dan masyarakat adalah bahwa rekam jejak buruk bisa ditoleransi, bahkan diberi tempat kembali. Ini adalah preseden buruk yang bisa merusak ekosistem pendidikan kita dalam jangka panjang.

Yang dibutuhkan SMA Negeri 9 dan sekolah-sekolah lainnya di Kota Ternate hari ini bukan hanya tambahan guru, tetapi juga kepemimpinan yang bersih, profesional, dan visioner. Pemilihan kepala sekolah, termasuk Plt, harus melalui mekanisme yang terbuka, akuntabel, dan mempertimbangkan evaluasi kinerja sebelumnya. Sekolah bukan ruang percobaan bagi kepentingan politik atau kompromi atas nama loyalitas semu.

Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, memiliki tanggung jawab moral untuk tidak membiarkan praktik-praktik seperti ini terus berlangsung. Pendidikan adalah urusan strategis bangsa. Jika kebijakan rekrutmen pemimpin sekolah tidak memperhatikan rekam jejak dan kompetensi, maka jangan heran bila mutu pendidikan kita jalan di tempat, bahkan mundur.

Sudah saatnya kita memutus siklus ketidaktegasan dalam dunia pendidikan. Anak-anak kita berhak mendapatkan guru yang cukup dan pemimpin sekolah yang layak dijadikan panutan. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam sistem yang permisif terhadap ketidakbecusan dan masa lalu yang buruk. (*)