Oleh: Ardian Yuswan

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara UMMU/Pegiat Pilas

________

HARI demi hari telah berlalu, kini tak terasa kita sudah memasuki hari penuh ketakwaan, Idul Adha 10 Dzulhijjah 1446 H/2025 M. Mulai dari kosan hingga ke jalan terdengar syiar-syiar dan gema takbiran di berbagai macam penjuru, syiar yang merupakan salah satu tanda menjemput hari besar umat Islam, Idul Adha atau disebut dengan hari kurban.

Yang dimaksud hari kurban bukan hanya tentang menyembelih kambing atau sapi, daging atau darah, tetapi menyembelih keegoan, rasa cinta di dunia yang fana ini dan keengganan untuk taat. Dalam hal ini kurban terbagi tiga, kurban syariat, kurban tarekat dan kurban hakikat,

Kurban syariat adalah kurban dengan menyembelih binatang-binatang ternak apabila ada kemampuan sebagai suatu bentuk amal ibadah dan ini merupakan tradisi mengikuti jejak atau sunnah nabi Ibrahim dan tanda syukur kepada Allah (QS. AL-kautsar surah 108 ayat 1-2).

Kurban tarekat merupakan kurban bukan serupa menyembelih binatang, Akan tetapi menyembelih segalah sifat-sifat kebinatangan di dalam diri kita tidak lain daripada nafsu ammarah dan nafsu lawwamah yang menghimpun segala sifat-sifat tercela, maka dari itu sebagai alat penyembelihan kurban tarekat adalah zikir dan suluk.

Kurban hakikat ini adalah kurban dengan menyembelih segala sesuatu selain Allah, yaitu wujud diri yang menjadikannya hijab antara hamba dan Allah dan itu harus disembelih agar sirr (ruh) kita bersi dari segala hijab-hijab yang menghalangi kita untuk syuhud makrifat kepada Allah dengan cara penyembelih kurban hakikat adalah cahaya tajalli makrifat Allah.

Hari kurban ini juga tidak lain daripada salah satu peradaban dan memberikan ekspresi dengan mengigat kita kembali kisah Nabi Ibrahim AS dan awal dari kurban, seorang nabi yang sepanjang hidupnya diuji dengan dibakar hidup-hidup dan diusir oleh kaumnya hingga hidup dalam kesepian. Namun tak berat ujian itu selain perintah menyembelih anaknya sendiri dan ia adalah Ismail, buah hati dari Siti Hajar lahir setelah puluhan tahun menanti dengan doa dan air mata.

Kala pada malam itu Nabi Ibrahim bermimpi dan hal itu bukanlah mimpi biasa melainkan wahyu. Ia pun berkata wahai Ismail Sesunggunya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu (QS. Ash-shaffat:102), dan bukannya ia takut melainkan ia menjawab dengan keteguhan hati. Berkata wahai ayahku lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Dengan hal ini bisa kita lihat bahwa betapa tulusnya mereka yang cintanya begitu dalam tetapi tak melawan perintahnya Allah.

Dalam ruang kesunyian Nabi Ibrahim membaringkan putranya, ia menutup matanya Ismail agar tidak goyah. Ia mengasah pisau agar tak menyiksa, ia menunduk dengan berserah diri sepenuhnya. Namun, suatu hal terjadi pisaunya tak mampu memotong, karena Allah tak menginginkan darah atau daging akan tetapi ketakwaannya.

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (QS. Ash-Shaffat:107), seekor domba dari surga turun mengantikan posisi Ismail dan sejak itulah, Allah syariatkan Ibadah Qurban sebagai bentuk pengingat atas cinta pengorbanan, dan ketulusan. Dan Ini sesungguhnya benar-benar suatu ujian yang nyata (QS. Ash-Shaffat:106).

Pesan dari (QS. Al-Hajj:37) bahwa yang samapi kepada Allah bukanlah daging atau darah hewan kurban. Tetapi ketakwaan hamba-Nya. (*)