Oleh: M. Guntur Alting
________
MUHARRAM bagaikan dua sisi mata uang. Ia tidak hanya dimaknai sebagai bulan suka-cita, tapi juga duka-cita.
Di Indonesia, bulan mulia ini diperingati dengan berbagai tradisi yang sudah turun-temurun sejak masuknya Islam.
Bagian suka-citanya adalah seperti tradisi kita di Maluku Utara adalah “pawai obor”. Ini juga ditemukan di Jakarta dan Banten. Saya saksikan sendiri pawai obor ini di warga Betawi pada malam 1 Muharram di kompleks saya.
Ada juga “Kirab Muharram” di Jawa. “Tabot” di Bengkulu. “Bubur Asyura” di Sulawesi dan Kalimantan. Disebut suka-cita karena kegiatan tersebut semacam festival.
Namun bagian duka – citanya adalah peristiwa karbala. Karena bagi saya Selain menyelenggarakan tradisi pada bulan Muharram yang sudah mengakar. Seyogyanya kita juga menyebarkan nilai-nilai universal dari Muharram ini. Dengan kembali mengenang Sayyidina Husein. Terlepas dari keterkaitannya dengan ritual Syiah.
Kita tentu meyakini bahwa Husein, adalah cucu Rasulullah Saw yang wafat pada bulan Muharram. Yang di dalamnya diisi dengan kajian, salawatan, tahlil, menyantuni anak yatim, dan kegiatan positif lainnya.
—000—
Al-Thabrani dalam karyanya “Maqtal Husain bin Ali bin Abi Thalib” mengisahkan. Suatu ketika, Husein bin Ali masuk ke kamar Nabi. Yang ketika itu Nabi sedang menerima wahyu. Lalu Husein meloncat ke atas pundak Nabi dan bermain-main di atas punggung beliau. Maka kemudian Jibril bertanya:
“Wahai Muhammad, apa Engkau mencintainya?”
Nabi pun menjawab:
“Wahai Jibril, bagaimana Aku tidak mencintai cucuku?”
Jibril lantas berkata kembali “Sesungguhnya, setelah kamu wafat nanti. Umatmu akan membunuhnya.”
Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi. Yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah. Istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).
Salma bertanya:
“Mengapa engkau menangis?”
Ummu Salamah menjawab:
“Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah, yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya bertanya mengapa engkau wahai Rasul?“
Rasulullah menjawab:
“Saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’”
Prof. Dr. Nadirsyah Hosen mengisahkan dengan penuh kepiluan, saat-saat terakhir kehidupan Husein seperti berikut:
Dia berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram tahun 61 H. Usai salat Subuh, dia keluar dari tendanya dan menaiki kudanya.
Tiba-tiba dia melihat ada sepasukan yang mengepungnya. Dengan indah dan menyentuh hati dia berkata:
“Apa yang kalian lihat dari nasabku? Lihatlah siapa aku ini. Kemudian lihatlah dirimu sendiri, dan cermati apakah pantas bagi kalian untuk membunuhku dan mencederai kehormatanku? Bukankah aku ini putra dari putri Nabi kalian? Bukankah aku ini putra dari Washi dan keponakan Nabi kalian. Yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabi kalian?”
Demikian kata-kata yang begitu elok ini diucapkan oleh Hussein bin Ali di hari ketika sang cucu Rasullah itu dibunuh di padang Karbala. Dan ini direkam dengan penuh keharuan dalam ‘Tarikh at-Thabari dan Al-Bidayah wan Nihayah.’
Ibnu Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Sementara Imam Suyuthi dalam ‘Tarikh al-Khulafa’ mencatat 4.000 pasukan yang mengepung Husein. Di bawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash.
Simak pula bagaimana Ibnu Katsir dalam ‘al-Bidayah wan Nihayah’ bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram atau disebut asyura.
“Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Lalu Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.”
Dan pada hari terbunuhnya Husein, kata Imam Suyuti dilukiskan bahwa “dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah.”
—000—-
Tragedi Karbala ialah tragedi kemanusiaan yang tidak hanya menyakiti hati Rasul, tapi juga umat manusia.
Muharram bulan suka dan duka cita, seyogyanya menjadi momentum pembaharuan bagi umat Islam.
Pada bulan inilah kita berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman. Kita bisa berpartisipasi dalam tradisi Muharram ataupun 10 Syuro nanti. Yang dikemas dengan kreatif dan kontekstual. Tanpa mengurangi esensinya.
Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang cucu Nabi Saw. Dari sini muncul sebuah pertanyaan. “Apa kita masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?”
Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah.
Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini?
Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat “syafaat” datuknya, Rasulullah di Padang Mahsyar?
Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita. Pertarungan di masa Khilafah saat itu mengorbankan nyawa cucu Nabi SAW. Dan sekalius juga memberi pesan moral berharga bahwa pertarungan politik, tidak boleh sampai mengorbankan kesucian dan kehormatan pribadi.
Karena itu, bulan Muharram diisi dengan kejadian-kejadian besar yang menyiratkan makna kebahagiaan dan kesedihan bagi umat Islam. Wallahu’alam. (*)
Tinggalkan Balasan