Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_______
“Ada aset berharga yang perlu dijaga dan didorong secara simultan dan konsisten, semangat kerja ASN dan kultur di lingkungan kerja yang sehat.”
PAGI tadi saya membaca sebuah berita media. Judulnya “TPP Maret-April Dinas Pertanian Maluku Utara Cair”.
Saya sedikit terusik. Ada sesuatu yang sudah lama dipandang “tak biasa”. Sontak saya menambahkan narasi ini di beberapa grup WhatsApp: Berita dengan tema TPP begini semestinya memalukan. Jarang ada tema berita begini bagi kabupaten/kota, karena semuanya lancar-lancar dan biasa saja. Bagi pemerintahan provinsi, seolah TPP itu “barang mewah” yang kehadirannya dirindui banyak ASN. BPKAD seolah seperti jadi pahlawan jika TPP bisa cair, dan tak ada rasa bersalah kalau terlambat. Padahal juga, itu hak mereka yang kewajibannya telah ditunaikan. Ubah mindset dan cara berpikir pelayanan kita. TPP adalah variabel kunci menggerakan ASN bekerja secara normal karena letak pusat pemerintahan dan kondisi geografis bekerja bagi mayoritas ASN itu berbeda dengan kabupaten/kota.
Bagi saya, ada mindset yang perlu disepakati. Jika konteksnya diletakkan pada “hak” saja, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) itu seharusnya hak ASN yang harus diperoleh secara normal, sebagai konsekuensi atas dipenuhinya sejumlah kewajiban yang dipersyaratkan sesuai ketentuan, tanpa alasan apa-apa. Otoritas atau OPD yang mengurusnya tak bisa beralasan macam-macam, hingga menyalahkan OPD lainnya terkait prosedur dan mekanisme, misalnya. Itu semua bukan “urusan” ASN, sepanjang syarat dasarnya telah dipenuhi. Aspek kehadiran tepat waktu, misalnya.
Apa perlu ASN harus urun rembuk berpikir soal minimnya kondisi ketersediaan fiskal daerah, misalnya. Jangan ada pernyataan-pernyataan yang menyiratkan mengabaikan tanggung jawab, lari dari tugas pokok dan fungsi sebagai pelayan. Jika tak mampu, ajukan permohonan untuk berhenti saja. Marwah pemerintahan sebagai penyedia layanan itu terlalu agung untuk diperhadapkan dengan aparatur bermentalitas buruk dan tak melayani. Ada “aset” pemerintahan paling berharga yang perlu di jaga dan didorong secara simultan dan konsisten, semangat kerja ASN dan kultur dilingkungan kerja yang sehat. Jangan terlalu banyak buat “reseh”.
“Cerita duka” TPP ini bukan barang baru. Publik Maluku Utara ini saja, yang sering mudah lupa. Biro Humas bisa melacak arsip berita media bertema TPP Pemerintahan Provinsi Maluku Utara ini dalam periode kepemimpinan daerah 10 tahun terakhir, pasti dapat banyak tumpukan jawabannya. Mestinya, mekanisme, proses dan tenggat waktu pencairan TPP Pemerintahan Provinsi Maluku Utara itu, menjadi contoh bagi semua daerah di Maluku Utara. Kenapa? Karena kita “berkewajiban” melayani dan menjaga semangat kerja itu secara terencana karena adanya fakta kondisi rentang kendali dan geografis pusat pemerintahan yang “belum normal” dan berakibat hight cost. Ini fakta yang sulit dihindari. Artinya, banyak regulasi dalam hal optimalisasi pelayanan yang masih perlu “disiasati”, tak bisa “dipukul rata”. Sebagai pejabat, saya pernah turut berkontribusi pikiran merumuskan aspek filosilofi dan semangatnya, apa perlunya kita harus menyediakan TPP bagi ASN Pemerintahan Provinsi Maluku Utara ketika itu, se sebelum pertama kali kebijakan ini diluncurkan.
Tahun Anggaran 2017, mungkin bisa dibilang fase paling buruk dalam sejarah tata kelola keuangan daerah sejak provinsi ini berdiri. Operasional pemerintahan nyaris collaps. Tak ada uang. Disiplin ASN balik ke titik nadir. TPP ASN di bayar hanya sebulan dari 12 bulan. Pihak ketiga dan pengusaha jasa, menggelar hearing dengan DPRD bicara nasib tunggakan pembayarannya. Tak jelas nominal dana transfer daerah yang secara berkala itu. Sempat “sehat” ketika pemegang otoritas tekhnis pengelola keuangannya berganti, tetapi tak lama. Setelahnya, sakit lagi. Benar-benar memalukan. Padahal di tahun 2012, Provinsi Gorontalo, yang “tanggal lahirnya” sama dengan Maluku Utara, sudah mempublikasikan saldo kasnya di media cetak secara berkala. Warganya tahu berapa uang daerahnya yang tersisa setiap saat.
Di tahun 2018, karena jabatan, saya pernah mengkoordinir dan menginisiasi salah satu “jalan keluar”, mengurai problem dasar Pemerintahan Provinsi Maluku Utara, yang menurut kami, sangat masuk akal untuk saat itu, perumahan ASN. Ada pihak pengembang yang menawarkan kerjasama penyediaan perumahan tipe tertentu bagi ASN Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dengan jaminan uang muka yang sangat terjangkau. Peminatnya sudah di angka 700-an ASN dalam waktu singkat. Kegiatan Family Gathering telah dilaksanakan di sebuah hotel mewah di Ternate. Mereka hanya meminta selembar “surat sakti”, ada jaminan dan pernyataan bahwa TTP ASN bisa cair tepat waktu dan konsisten setiap bulan, agar cicilannya yang kurang lebih sebesar Rp 800 ribuan dari ASN itu tak terhambat. Karena juga, ASN tak bisa berharap pada penghasilan dari komponen gajinya lagi. Sayangnya syarat “super sederhana” itu tak disanggupi. Dan saya membayangkan betapa kesalnya pimpinan pihak pengembang itu. Andai itu terlaksana, kita tak butuh lagi memikirkan domisili, nyaris 25 persen ASN provinsi Maluku Utara, sesuatu yang teramat logis. Belum lagi efek ekonominya jika mereka menetap 5 hari saja dalam seminggu. Saya secara pribadi belajar, betapa sensifitas dan rasa peduli yang kuat itu, harus menjadi syarat dasar dan menyatu membentuk semangat dan etos pelayanan yang optimal.
Fakta ratusan penyidik Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang “pindah kosan” ke Maluku Utara dalam rentang nyaris setahun dan baru saja balik, mestinya menjadi momentum dan tekad yang kuat untuk berubah, memperbaiki daerah ini. Stop kebiasaan “gampang lupa”. Install ulang mindset pelayanan bahwa output kinerja itu produk sistem tetapi ada otoritas yang paling bertanggung jawab di level tekhnis. Itu fungsinya, bahwa setiap karakteristik urusan pemerintahan itu ada pejabat yang bertanggung jawab. Ini, hanya urusan pembayaran TPP tepat waktu bagi sebuah lembaga pemerintahan, di level provinsi lagi, yang operasionalnya dijamin pembiayaannya oleh negara, terasa begitu sulit, hingga menjelma menjadi semacam barang mewah.
Di September 1988, dunia dikejutkan dengan novel karya Salman Rushdie, penulis Inggris-India, The Satanic Verses. Novel pemenang Whitbread Award di tahun 1988 dan mendapat sambutan hebat di Inggris itu, mendapat kecaman luas bagi komunitas muslim hingga berbuah ancaman pembunuhan bagi Rushdie dari pemimpin tertinggi Iran, karena dianggap menghina kaum muslim. India, yang bukan penganut mayoritas muslim, menjadi negara pertama yang melarang novel itu sembilan hari sejak diterbitkan. Pada 14 Januari 1989, demonstran di Bratford, Inggris, membakar novel itu di jalan-jalan. Kantor penulis novel itu, Viking Penguin, di New York City, menerima ancaman luar biasa. Banyak pemilik Toko Buku di Inggris yang menjual tokonya. Puncaknya, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa pada 14 Februari 1989 untuk pembunuhannya. Rushdie bersembunyi hampir satu dekade. Konon, novelis itu melindungi dirinya di sebuah rumah berkaca antipeluru dan kamera pengaman. Kepalanya “dihargai” 3.3 juta dollar.
Di kolom “suplemen” dalam salah satu edisi majalah Tempo ketika itu, pernah menurunkan kisah 2 tahun Salman Rusdhie dalam persembunyiannya yang dijaga super ketat itu. Rusdhie mengungkap betapa tekanan mental dan kondisi psikologis yang kacau itu, dengan kata-kata kurang lebih, penjara ini tak berpintu, tak beratap dan tak ada dinding. Tetapi dalam 2 tahun ini saya belum menemukan “jalan keluarnya”.
Bisa dikontekskan guyon begini, di persembunyiannya yang menegangkan dan mengguncang jiwanya yang luar biasa, wajar jika Rushdie tak menemukan “jalan keluarnya” saat di rentang 2 tahun di masa itu. Di sini, dan hari ini, di Pemerintahan Provinsi Maluku Utara, di ruang kerja yang ber-AC dan nyaman, dilengkapi segala fasilitas cukup bagi pemegang otoritas tekhnis tata kelola keuangan daerah, tanpa ada tekanan yang mengguncang jiwa, konsultasi ke Jakarta bisa sekehendaknya. Tetapi sudah direntang lebih 10 tahun, TTP ASN kita belum menemukan “jalan keluarnya”. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan