Oleh: Dr. Irawati Sabban

Dosen FKIP Universitas Pasifik Pulau Morotai

_______

PENDIDIKAN adalah hak dasar setiap warga dan sekaligus menjadi indikator kemajuan suatu bangsa. Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dari aspek pemerataan pendidikan sangat kompleks, terlebih di wilayah perbatasan. Peringatan Hari Pendidikan Nasional 02 Mei 2025 hendaknya menjadi momentum mengangkat kembali urgensi penyetaraan kualitas pendidikan di wilayah perbatasan dengan wilayah lain di Indonesia terutama di wilayah Indonesia barat, karena di situlah citra bangsa Indonesia sejatinya dipertaruhkan.

Kodisi pendidikan saat ini masih mengalami ketimpangan terutama dari aspek kualitas pendidikan di perbatasan. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, sekitar 122 termasuk kategori daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Banyak di antaranya berada di wilayah perbatasan. Di daerah perbatasan hanya sekitar 63% sekolah yang memiliki guru berstatus ASN tetap, sementara sisanya bergantung pada guru honorer yang seringkali tidak mendapatkan pelatihan atau sertifikasi memadai.

Selain itu, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 juga mencatat, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP Pendidikan) di provinsi-provinsi perbatasan seperti Maluku Utara, Papua, dan Kalimantan Utara masih berada di bawah rata-rata nasional (71,94). Di Papua, misalnya, IP Pendidikan hanya mencapai 57,32. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang nyata antara pusat negara dan pinggiran Indonesia.

Jika dilihat dari aspek infrastruktur, akses internet dan digital, rata-rata infrastruktur pendidikan di wilayah perbatasan masih sangat tertinggal. Berdasarkan laporan Kemendikbudristek tahun 2023, sekitar 40% sekolah dasar di wilayah perbatasan tidak memiliki ruang kelas yang layak. Di Pulau Morotai misalnya banyak sekolah masih mengalami kekurangan fasilitas perpustakaan, laboratorium, bahkan listrik dan air bersih.

Selain itu, akses internet dan teknologi menjadi tantangan besar dalam proses digitalisasi pendidikan di wilayah perbatasan Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023 menunjukkan bahwa cakupan penetrasi internet di wilayah urban telah mencapai 80%, sementara di wilayah perbatasan dan perdesaan baru menyentuh angka sekitar 40-45%. Hal ini membuat siswa di wilayah perbatasan jauh tertinggal dalam hal literasi digital, padahal pembelajaran daring dan teknologi pendidikan kini menjadi standar baru.

Perlu diingat bahwa pendidikan adalah representasi citra bangsa. Jika pendidikan adalah fondasi peradaban, maka kualitas pendidikan di wilayah perbatasan adalah wajah keadilan sosial dan pemupuk nasionalisme sejati anak bangsa. Anak-anak perbatasan seperti Morotai memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas seperti anak-anak di Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Ketika pemerintah membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung, maka yang tercederai bukan hanya masa depan individu, tetapi juga citra keadilan dan persatuan bangsa Indonesia.

Pendidikan yang bermutu di wilayah perbatasan juga dapat dipandang sebagai strategi geopolitik. Dalam konteks globalisasi dan ancaman disintegrasi, masyarakat di daerah perbatasan seperti Morotai harus diperkokoh dengan identitas kebangsaan yang kuat, dan hal itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu dan merata.

Ke depan saya mengusulkan beberapa langkah penting perlu diperkuat untuk menyamai kualitas pendidikan di wilayah perbatasan. Pertama, distribusi dan insentif guru profesional. Pemerintah perlu memperluas rekrutmen dan memberikan insentif khusus bagi guru ASN untuk mengabdi di wilayah perbatasan dengan skema jangka panjang. Kedua, investasi infrastruktur dan digitalisasi. Percepatan pembangunan jaringan internet, laboratorium digital, dan media pembelajaran interaktif di sekolah-sekolah perbatasan mutlak menjadi prioritas nasional.

Ketiga, kebijakan afirmatif dan keberpihakan anggaran. Dana alokasi khusus (DAK) pendidikan dan Dana Transfer ke Daerah harus diarahkan lebih besar kepada wilayah perbatasan. Keempat, kolaborasi multisektor. Pemerintah pusat, daerah, swasta, dan LSM perlu bersinergi dalam program literasi, beasiswa, dan pelatihan vokasional berbasis wilayah perbatasan.

Membangun kualitas pendidikan di wilayah perbatasan bukan sekadar urusan teknis administrasi, tetapi menyangkut nilai strategis dan ideologis bangsa Indonesia. Kita tidak bisa bicara tentang keadilan, pemerataan, atau cita-cita Indonesia Emas 2045 tanpa menyentuh jantung pendidikan di daerah-daerah perbatasan seperti Morotai. Saat anak-anak perbatasan bisa mengakses pendidikan yang sama baiknya dengan anak-anak di pusat kota, maka di situlah Indonesia benar-benar hadir sebagai bangsa yang adil dan beradab. (*)