Oleh: Asmar Hi Daud
Tak bisa tidak, kita terhenyak saat menyimak laporan sejumlah media lokal Maluku Utara. Dua puluh warga Halmahera Timur dipanggil oleh polisi setelah mereka melakukan aksi protes terhadap PT Sumber Tera Sejahtera (STS), perusahaan tambang yang diduga menyerobot lahan masyarakat. Pemanggilan itu menimbulkan kecemasan sekaligus kemarahan publik, sebab langkah tersebut dianggap berlebihan dan mengindikasikan ketimpangan dalam penegakan hukum.
Di tengah suara rakyat yang menuntut keadilan atas tanah ulayatnya, negara justru tampil garang kepada yang lemah, tapi tampak gamang menghadapi korporasi besar. PT STS, yang menjadi sumber konflik, belum tersentuh secara serius oleh aparat penegak hukum. Rakyat dipanggil, sementara perusahaan yang dituduh menyerobot lahan tetap melenggang.
Direktur Riset dan Opini Anatomi Pertambangan Indonesia, Safrudin Taher, mengingatkan bahwa penegakan hukum oleh Tim Khusus Tambang Ilegal bentukan Kapolda Maluku Utara terkesan hanya menyasar tambang rakyat. “Sementara tambang besar seperti STS dan Wana Persada Mineral (WKM), yang diduga juga melanggar hukum, justru seolah dibiarkan,” ujarnya. Ia bahkan menantang Kapolda untuk mengusut penjualan 90 ribu metrik ton ore nikel oleh WKM yang diduga tidak sah.
Ketimpangan ini bukan isu baru. Prof. Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., mantan Kepala Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, sejak lama menyoroti asimetri dalam penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, keadilan berubah menjadi alat represi, bukan perlindungan.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Wakil Gubernur Sarbin Sehe memang mengaku telah memediasi konflik dan menyebut telah ada kesepakatan. Namun, realisasi di lapangan belum terlihat. Rakyat masih bertanya-tanya: siapa yang sebenarnya dilindungi negara?
Kita bukan anti-investasi. Kita hanya ingin investasi yang adil dan bertanggung jawab. Investasi yang menghormati hak rakyat, bukan yang menyisakan air mata dan konflik. Negara harus hadir melindungi, bukan menindas.
Apa yang kita saksikan hari ini bukan semata konflik lahan, tapi cermin dari ketimpangan struktural dalam tata kelola sumber daya. Ketika rakyat berteriak, mereka bukan ingin melawan hukum; mereka hanya ingin hukum berdiri tegak di atas keadilan. Mereka ingin didengar, bukan dibungkam.
Sebagai anak negeri yang hidup di atas tanah kaya sumber daya, kita tidak boleh diam. Penegak hukum harus menegakkan keadilan, bukan menunduk pada kekuasaan modal. Pemerintah daerah harus menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap rakyatnya, bukan hanya berdamai dengan perusahaan.
Konflik semacam ini akan terus berulang jika kita terus memelihara budaya “diam” terhadap ketidakadilan. Mari bersikap waras, objektif, dan berpihak pada keadilan. Saat rakyat dibungkam karena mempertahankan tanahnya, maka sesungguhnya kita sedang menggali jurang kehancuran sosial yang lebih dalam.
Tinggalkan Balasan