Oleh: Asghar Saleh

________

MESKI lagi bedrest, saya banyak sekali menerima whatsApp, Direct Messenger dan telepon yang intinya selalu bertanya tentang tiket pertandingan Malut United FC di stadion Gelora Kie Raha. Perkara yang ditanyakan mulai dari kenapa tiket cepat sekali habis, kenapa ada calo yang membeli murah lalu menjualnya dengan harga sangat mahal, mengapa suporter jadi kelompok yang diprioritaskan. Ada juga tudingan bahwa manajemen “bermain” dengan para calo. Banyak juga yang meminta tiket gratis.

Perdebatan soal siapa benar dan siapa yang harus disalahkan karena dianggap bertanggungjawab soal tiket nonton juga ramai di media sosial. Semua orang berpendapat dari sudut pandang pribadi. Kebanyakan menuliskan tudingan tetapi minim bukti. Misalnya ada suporter yang menjual tiket mahal. Ada calo yang bermain. Saya selalu meminta jika punya bukti entah foto, nomor rekening transaksi atau nama lengkap “pelaku” silahkan disampaikan biar kami tahu darimana harus mulai membereskan masalah ini.

Mengapa butuh bukti karena soal tiket ketika sudah dibeli dan jadi milik orang – bukan lagi urusan manajemen. Perkara mau dipakai sendiri atau diberikan ke yang lain secara gratis atau dijual lagi itu urusan yang punya tiket. Jangan “memaksa” kami untuk mengurus semua masalah yang terjadi. Lepas tangan? Tidak juga karena tiket begitu terbeli sudah menjadi milik yang bersangkutan. Lagian sampai saat ini, banyak agenda krusial – jika tak disebut sebagai masalah – yang harus kami selesaikan satu persatu. Tentang ini akan saya tuliskan di bagian akhir.

Kita mulai dari soal tiket. Karena ini liga profesional maka regulasi tentang tiket dan tata cara masuk ke stadion semuanya telah diatur. Ada kerjasama dengan sponsor utama yakni Bank BRI. Karena itulah Liga ini berlabel BRI Liga 1. Apa hak sponsor utama? Selain muncul brand-nya di setiap laga, penjualan tiket juga berbasis aplikasi yang terkoneksi dengan BRImo. Jika jadi nasabah BRI -urusan mendapat tiket akan jauh lebih mudah. Agar semuanya terkoneksi secara digital, kami memutuskan menggunakan vendor -pihak ketiga yang berpengalaman mengelola urusan tiket. Bukan cuma soal penjualan tetapi juga tata cara penonton yang punya tiket masuk ke stadion.

Karena itu setelah mendapat gelang, akan ada screening di tiap pintu masuk untuk memastikan gelang itu asli. Di beberapa kasus, ada laporan jika gelang dipakai berulang kali. Laporan ini divalidasi dan dipastikan hanya sekali scan. Setelah itu kadaluarsa gelangnya. Jika lolos maka sangat mungkin ada “pemaksaan” di pintu masuk.

Vendor bertanggungjawab hingga selesai pertandingan karena laporan mereka jadi dasar kami membayar pajak hiburan ke Pemerintah Kota. Dan karena itu, semuanya bekerja hati-hati dan sangat tidak mungkin ada pemalsuan. Mengapa masih menggunakan gelang? Karena jika menggunakan scan barcode, kapasitas internet di stadion belum tentu bisa mendukung. Jika internetnya down, masalah baru yang lebih serius akan terjadi dan berpotensi memunculkan kekacauan di pintu masuk.

Semua tiket masuk sejatinya dijual online. Tetapi balik lagi ke soal kapasitas internet di Ternate. Saya kira semua sudah merasakan saat 7.000-8.000 orang berkumpul dalam stadion, koneksi internet menjadi sangat lambat. Begitu juga dengan situasi jika tiket dijual semuanya secara online. Karena itu, kami meminta ijin agar sebagian tiket dijual secara offline. Meski begitu, basis datanya tetap sama seperti membeli dengan online. Ada NIK, nama lengkap, nomor hp dan alamat email. Mengapa butuh data ini? Kan jadi ribet. Ini untuk memastikan semua yang masuk ke stadion terkontrol. Jika ada “kekacauan” CCTV akan merekam dan identitas setiap orang akan mudah disandingkan dengan database yang telah terkumpul.

Kemana tiket offline diberikan? Kami jauh hari telah menandatangani kesepakatan dengan kelompok suporter yang ada di Ternate. Akan ditanya lagi kenapa kelompok suporter jadi prioritas?

Dalam sepakbola modern yang berbasis data, kehadiran kelompok suporter adalah bagian dari sepakbola profesional yang diatur dalam regulasi. Mereka adalah pendukung utama sebuah tim saat berlaga terutama di kandang sendiri. Tapi “kami” yang lain juga berhak menonton? Banyak protes bernada sarkas seperti itu.

Saya ceritakan sedikit pengalaman dua teman dari Halmahera Timur yang membeli tiket di tribun timur Gelora Kie Raha -tribun yang sejak saya masih mengurus Persiter Ternate adalah tempat kelompok suporter fanatik Laskar Kie Raha. Sudah diingatkan bahwa berada di tribun timur punya banyak konsekuensi, salah satunya adalah anda akan diminta terus berdiri dan bernyanyi sepanjang laga. Tetapi dua kawan ini tetap ngotot dengan pilihan di tribun timur. Hasilnya setelah laga melawan Dewa United, keduanya “bertobat” karena sepanjang laga harus berdiri, bernyanyi, bising dengan suara drumband, kadang terhalang dengan kibaran bendera besar di depan dan jauh dari “rasa nyaman”.

So, jika anda mau menonton sepak bola dengan nyaman, jangan bergabung dengan tempat para suporter dan itu berarti anda bukan suporter. Anda hanyalah penonton. Yang bisa jadi memilih pertandingan tertentu untuk anda tonton secara langsung di stadion. Dan ada pertandingan tertentu yang anda lepas.

Sementara suporter tetap akan datang ke stadion. Mereka mendukung tanpa jeda. Terus berdiri dan bernyanyi sepanjang laga. Meneriakkan yel-yel pembakar semangat. Mereka ada saat tim merayakan kemenangan dan tak berbalik badan sejengkalpun saat tim kalah di kandang. Suporter adalah urat nadi utama sebuah klub sepakbola.

Mereka umumnya berasal dari orang-orang bawah yang mendedikasikan cintanya untuk tim dengan membeli tiket. Saya tahu sebagian besar suporter di Ternate adalah mereka yang bekerja sebagai tukang ojeg, buruh bangunan, buruh pelabuhan dan kelompok marginal lainnya karena sejak kelompok suporter terbentuk di masa Persiter, saya selalu ada bersama mereka yang berjuang untuk membeli selembar tiket.

Perkara tempat di tribun timur, sekali lagi saya sampaikan bahwa tempat itu dibangun untuk mendapatkan suara dukungan yang lebih keras dari kelompok suporter. Sungguh saya bahagia, di tribun bagian Utara dan pojok Utara -saya sebut Curva North, sudah ada kelompok suporter yang ikut bernyanyi dan tak pernah berhenti memberikan dukungan. Mereka juga bagian dari nadi Malut United. Jika pernah nonton di Gelora Bung Karno saat Timnas bermain, ada tribun khusus untuk Ultras Garuda dan kelompok suporter yang lain. Di San Siro, tempat Milanisti dan Internisti tak pernah diganggu gugat. Begitu juga di stadion- stadion besar lainnya.

Tiket yang diberikan ke kelompok suporter adalah bagian dari cara kami untuk mengontrol perilaku suporter. Mereka terikat dengan pakta integritas yang ditandatangi bersama LOC di hadapan pihak kepolisian. Ada banyak regulasi yang dipegang bersama. Ada larangan yang tak ditolerasi sedikitpun untuk terjadi di dalam dan di luar stadion. Jika ada pelanggaran, kami akan mudah mengetahui siapa yang berbuat. Koordinator suporter akan diminta pertanggungjawabannya. Di lapangan setiap “gameday”, korlap akan bertanggungjawab menjaga ketertiban. Saya melihat sendiri bagaimana mereka bekerja dengan kontrol lewat handytalkie yang terus berbunyi.

Sekali lagi kelompok suporter adalah bagian penting dari sebuah tim sepakbola. Jika semua serba tertib. Bisa jadi besok lusa merekalah yang akan mengurus tiket untuk jumlah yang lebih besar. Bagaimana dengan penonton yang lain? Tetap ada “jatah” untuk itu tetapi jika mau lebih nyaman, jadilah anggota kelompok suporter karena akses anda mendapatkan tiket akan jauh lebih mudah. Bisa jadi besok lusa -kami hanya akan menjual tiket untuk kelompok VIP.

Pertanyaan bombastik yang paling sering dikeluhkan adalah tiket cepat sekali habis. Dalam sebuah wawancara dengan tabloid Bola medio 2004, saya pernah menyebut bahwa di Ternate dan Maluku Utara, perkara menonton bola dengan segala kefanatikannya adalah urusan nomor dua paling penting setelah urusan beragama. Artinya, sepakbola adalah bagian dari hidup orang-orang di Maluku Utara.

Di pulau Ternate, ada 200 ribu orang yang hidup dengan berbagai dinamika, 10 persen saja dari yang 200 ribu itu berkeinginan menonton di Gelora Kie Raha secara langsung maka ada 20 ribu orang yang berebut membeli tiket saat online dibuka. Belum lagi yang mau membeli dari Kabupaten dan Kota lain. Karena sistim online yang serba cepat dan berbasis algoritma, menjadi lumrah jika tiket yang hanya tersedia dalam jumlah terbatas sesuai kapasitas stadion menjadi cepat habis.

Pilihan offline juga karena sebagian besar yang mau menonton tidak mau ribet dengan urusan menunggu online dibuka. Malas menggunakan fasilitas digital. Meski begitu, urusannya jadi panjang karena kelompok suporter punya prioritas menjual ke anggotanya yang memiliki KTA.

Di ruang inilah para calo atau oknum yang tiba-tiba jadi calo bermain. Calo itu manusiawi karena sifat dasar manusia adalah selalu berpikir mengambil keuntungan sebanyak- banyak dan mengabaikan nilai kepantasan. Bagaimana agar calo tidak bermain. Caranya hanya satu -stop membeli tiket di calo. Tapi karena hasrat menonton sangat tinggi dan kapasitas stadion terbatas sehingga tiket yang dijual juga terbatas maka calo punya ruang untuk hidup.

Secara internal, kami terus melakukan evaluasi. Malut United sampai hari ini belum berpikir untuk mengembangkan bisnis. Artinya tak ada “uang masuk”. Yang ada dalam dua tahun terakhir adalah aliran “uang keluar” untuk investasi sepakbola. Ratusan miliar dan sumbernya dari hati yang ikhlas. Sampai kapan? Sampai Tuhan menyuruh berhenti dengan caranya yang tidak kita ketahui.

Investasi yang akan dilakukan -dan ini jadi bagian dari banyaknya masalah yang sebut di bagian awal yang harus diselesaikan -adalah menambah kapasitas Gelora Kie Raha. Akan ada pembangunan tambahan di tribun Utara, Timur dan Selatan. Tower lampu yang “memakan” space besar akan diganti dengan single poll. Tribun penonton akan diupayakan tersambung. Moga rencana ini diijinkan oleh Pemerintah Kota karena sejauh ini kerja sama yang telah terbangun berjalan dengan sangat baik.

Masalah lain yang tak kalah bikin pusing adalah fasilitas untuk tim selama di Ternate. Kami masih menyewa hotel. Untuk pemain asing, tak ada apartemen yang memadai sesuai kontrak mereka. Di Ternate, belum ada rumah sakit dan sekolah internasional sesuai klausul perjanjian yang harus kami sediakan. Konsekuensi paling serius adalah pemain asing akan memutus kontrak di tengah kompetisi karena ketiadaan fasilitas itu. Desember ini bisa jadi satu pilar asing paling penting akan pergi karena anaknya sakit dan tak ada layanan rumah sakit internasional di kota ini.

Belum lagi ketersediaan lapangan latihan. Ada beberapa yang sudah dijajaki tapi kami seperti merasa bukan bermain di tanah sendiri. Sangat minim dukungan. Yang ada malah barter bisnis dan kepentingan lain. Miris tetapi tak akan mengubah tekad bahwa kami harus tetap ada di sini. Kami lagi mencari lahan untuk membangun training ground tetapi belum didapat. Akademi butuh tempat latihan. Sepak bola tak boleh mati.

Dengan tulisan panjang ini, mohon dukungan semuanya. Jika ada yang belum sempurna -mari jangan saling menyudutkan dengan argumentasi yang berbasis kebencian. Kami hadir karena ingin membahagiakan banyak orang. Ingin anak-anak punya mimpi yang terwujud, ingin pelaku ekonomi kecil dan menengah bertumbuh. Ingin Maluku Utara jadi mercusuar sepak bola di Timur Indonesia. So, kami butuh dukungan lebih karena sepak bola bukan soal merayakan kemenangan semata tetapi jauh lebih penting -sepak bola adalah urusan kemanusiaan. (*)