Komnas PA mengurai, kekerasan fisik sebanyak 985 kasus dan kekerasan psikis dengan 674 kasus dan diikuti oleh kejadian di lingkungan sekolah sebanyak 30%, lingkungan sosial 23%, dan tidak disebutkan 12% (baca: katadata.co.id).

Jika kesadaran ditumbuhkan secara merata di lingkungan sekolah, lingkungan sosial lembaga sosial dan ruang publik, maka pertanyaan Picasso terjawab dengan sendiri. Selain itu, kesadaran lain atas lingkungan telah diingatkan Siti Murtiningsih, (Hasan, 1987:11), apabila seseorang hidup dalam lingkungan yang kondusif bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, pembentukan pribadinya akan berlangsung intensif.

Padahal regulasi yang dilahirkan pemerintah menunjukan keseriusan dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak. Terhubung dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), tertuang dalam Pasal 52 (1) bahwa ‘setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara’.

Satu dari banyak regulasi termasuk yang terbaru mengatur mengenai penetapan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Stranas PKTA). Stranas PKTA memuat arah kebijakan, strategi, fokus strategi, dan intervensi kunci, serta target, peran, dan tanggung jawab kementerian/lembaga.

Akan tetapi apa yang diungkapkan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), perlu dijadikan peta jalan kedepan, melansir sindonews.com (diakses pada tanggal 5 Juli 2024) bahwa “dalam konteks ini, perlu adanya peningkatan pemahaman dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, dan masyarakat secara umum” .

Tentu semua pihak tidak menginginkan perkawinan anak, pekerja anak sampai kekerasan terhadap anak. Akhirnya pertanyaan Picasso tentang bagaimana anak menjadi seniman dan cerdas dicapai dengan kesadaran yang ditumbuhkan secara bersama-sama. Selamat memasuki bulan Hari Anak Nasional. Anak cerdas, Indonesia Maju. (*)