Sebab kewarganegaraan adalah kerangka interaksi politik modern. Di dalamnya kesetaraan hak warga negara dijamin. Terhadap kesejahteraan, tanggung jawab negara dituntut aktif dengan menyediakan kondisi minimal bagi pemenuhan kebutuhan demokrasi warganya. Reformasi melahirkan konsep kewarganegaraan yang parsial dalam berdemokrasi, itu tumbuh semacam dogma mengikuti kebutuhan-kebutuhan feodalisme kekinian dengan dalil baru yaitu menjaga stabilitas dan netralitas politik. Padahal itu irasional “logical fallacy” kata Muhammad Nurdin.
Reformasi hendaknya melayani debat ide dan gagasan, menempatkan kesetaraan akses politik berdasarkan parameter pikiran yang logis. Agar bangsa ini mendapat pengalaman baru dan meningkatkan rating berdemokrasi di mata dunia dengan perluasan konsep keadilan dan kesetaraan pilih dan dipilih bukan bersikap netral. Dengan begitu preferensi preferensi politik warga negara dalam menikmati demokrasi tetap berlangsung.
Bahwa kesetaraan politik itu mestinya hidup dan pilihan-pilihan bebas warga negara adalah tugas yang harus dijaga oleh negara. Negara minimal harus aktif dalam soal soal itu. Tetapi faktanya melalui reformasi, ada upaya mendiskreditkan hak demokrasi TNI-Polri dan ASN, bahkan ada aroma sentimen yang digunakan bukan berbasis pada pikiran yang rasional dan bijaksana dalam berdemokrasi.
Bayangkan perintah negara ASN harus netral tapi memihak di bilik suara ‘ikut memilihkan’. Sementara TNI-Polri netral dari awal sampai tuntas, itu namanya netral, betul. Pertanyaannya apakah mereka bukan warga negara? Mereka punya KTP, KK dan bayar pajak lho. Mereka bertanggung menjaga, sebagai garda terdepan dalam mensukseskan demokrasi, masa mereka tak bisa memilih? (TNI-Polri). Padahal setiap warga negara mempunyai akses ke konstitusi yang sama “equality before the law” kata Jhon Locke.
Dalam UUD 1945 pasal 29 tentang negara menjamin hak politik warga negara termasuk disabilitas. Kemudian Pancasila, sila ke 4, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dimaktubkan pemimpin itu dari, oleh dan untuk semua warga negara tanpa mendiskreditkan atau mem-parsialkan. Artinya semua orang mempunyai hak dan kewajiban berdemokrasi, kecuali benda.
Lucu kedengarannya, tapi itulah hasil reformasi 1998 yang tak berkolerasi. Pada akhirnya demokrasi tak mendapatkan energi untuk terus tumbuh dengan kebebasan dan kesetaraan. Maraknya money politik dan intimidasi adalah bukti bahwa ada yang salah pasca reformasi terjadi. Karena ada warga yang terasa asing di negeri yang sendiri.
Jika ini dibiarkan, maka jangan bermimpi prodak politik kita akan melahirkan pemimpin yang ideal. Kata Thomas Hobbes, “pemimpin yang diproduk dari politik yang buruk, maka akan melahirkan “Leviathan” atau monster laut”. Jadi tak ada cara lain selain mengembalikan demokrasi yang benar-benar demokratis.
Tentu setiap upaya untuk merekonstruksi demokrasi akan melahirkan perdebatan yang amat panjang seakan kita kehilangan fluidity-nya. Di dalam filsafat, Demok dan politik merupakan jalan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial. Karena itu, kita harus terus memberikan pencerahan tentang pentingnya literasi politik itu sendiri.
Meskipun argumen kita tak pernah tiba pada sebuah perubahan hari ini, tetapi minimal ada upaya menawarkan paradigma baru untuk perbaikan demokratisasi kedepannya. Harapannya semoga kedepan ada upaya kongkrit untuk membedah kembali sebagai upaya mengembalikan substansi demokrasi yang berkeadilan. (*)
Tinggalkan Balasan