Oleh: Bang Opickh
Penulis Buku
_______
TULISAN ini mungkin dianggap jenaka dan tak elok untuk dipercakapkan di kalangan mahasiswa, pemuda dan pelaku yang telah mencetuskan reformasi kala itu. Tetapi sejarah memang menyimpan sejuta kata, data dan romantisme dialektika historis yang mesti selalu hidup untuk terus dipercakapkan.
Saya sengaja menyodorkan ini sebagai bahan diskursus yang kritis “kenapa mesti dihalangi hak politiknya TNI-Polri dan ASN dalam negara yang katanya amat demokratis ini”. Dengan metode meninjau kembali perjalanan reformasi Indonesia tahun 1998. Tentu ada banyak catatan yang berserampangan tentang hiruk-pikuk perjuangan suci mahasiswa.
Mulai dari tangisan, darah, korban berjatuhan dan bahkan tragedi orang hilang. Kita tak bisa nafikan semua itu bahwa dunia telah mengenangnya sebagai Revolusi Indonesia 1998. Namun dicarikan kata sedikit anggun menjadi “reformasi” dengan visi besar tentang masa depan Indonesia yang lebih baik, demokratis dan berkeadilan sosial-ekonomi.
Ada 6 tuntutan mahasiswa saat reformasi: penegakan supremasi hukum; adili mantan presiden Soeharto dan kroninya, pemberantasan KKN, amandemen konstitusi; termasuk kebebasan pers, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Tuntutan terkait pencabutan dwifungsi ABRI, yakni di ABRI selain sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, ia juga merupakan kekuatan sosial-politik.
Yang selanjutnya diatur tentang netralitas TNI-Polri dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 39 dan UU Nomor 28 Tahun 2008 ayat 1 dan 2, yang menyatakan tidak boleh berpolitik praktis. Sementara netralitas ASN terbaru diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 pada Pasal 2 (f), 9 ayat 2, dan 24 ayat 1. Hemat saya undang-undang tentang netralitas TNI-Polri dan ASN agak berlebihan.
Mestinya netralitas itu untuk para pemimpin bukan untuk anggotanya. Kenapa? Iya karena sebetulnya yang menggerakkan kekuatan TNI-Polri dan ASN adalah para pimpinannya, mereka yang mengkomandoi peralatan negara tersebut. Sebab dalam perspektif yang lebih kritis reformasi mestinya tak boleh mengabaikan hak politik mereka untuk memilih dan dipilih “right vote and right candidate”.
Tinggalkan Balasan