Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
_______
SUATU ketika, saya berpapasan dengannya di bandar udara Sultan Babullah Ternate, saat hendak bepergian. Saya menyalaminya meski saya yakin dia tak mengenal saya. Dan memang begitu adanya. Andai dulu saya menempuh pendidikan strata satunya di Universitas Khairun Ternate, mungkin saja saya akan mengenal dekat dengannya meski tak mengambil jurusan hukum, latar disiplin yang diasuhnya di universitas kebanggaan warga Maluku Utara itu. Saya menyelesaikan S1 di Manado.
Dalam kiprah sosial kemasyaratan di Maluku Utara juga, saya relatif belum pernah bersua dengannya, di forum-forum diskusi pun. Hanya pernah suatu ketika, saya membaca di baliho yang menegaskan bahwa yang bersangkutan maju berkontestasi dalam pemilihan gubernur Maluku Utara. Itupun telah lampau. Entah itu serius ataukah sekedar otokritik.
Lewat karib yang kenal dekat dengannya, saya sedikit mendapatkan informasi tentang siapa dirinya khususnya di masa-masa menyelesaikan kuliah S1-nya di universitas itu. Bahwa dia begitu tertatih-tatih membiayai pendidikannya itu hingga sempat menjadi sopir angkot dan kuli bangunan, saya pernah mendengarnya. Dari karib lainnya, saya pernah meminta nomor kontaknya tetapi tak punya. Juga di sebuah tweet di Twitter [X] tentang pandangan saya berkaitan seluk-beluk dalam kontestasi pemilihan presiden lalu, saya pernah tag ke akunnya tetapi sudah tak aktif lagi.
Barulah di channel YouTube Helmi Yahya Bicara, dalam sebuah interview personal, saya sedikit utuh memahami siapa beliau, bagaimana kiprah di masa lalunya hingga kehidupan keluarganya, meski hampir semua video talkshow dan diskusi lainnya saya ikuti.
Dialah Margarito Kamis, pakar hukum tata negara jebolan Universitas Khairun Ternate, yang saat ini telah cukup dikenal luas. Dia bisa menyita perhatian banyak audiens saat tampil di talkshow di stasiun televisi nasional hingga berbagai diskusi bertema ketatanegaraan dan lain-lain.
Mungkin juga gayanya yang khas, meledak-ledak, spontan dan apa adanya tetapi sangat argumentatif, memberinya punya daya tarik dan nilai jual sendiri dalam perspektif media. Di Twitter, di akun Indonesia Lawyer Club [ILC] asuhan Karni Ilyas yang saya ikuti, hampir tak pernah saya melewatinya hingga men-share-nya secara luas di beberapa WAG komunitas, jika ada Margarito di sana.
Saya mengaguminya diam-diam sejak mengenalnya, mengagumi pikiran-pikiran dan logika hukumnya yang bernas. Kekaguman itu menjadi lengkap, saat menonton interview-nya di channel Helmi Yahya tadi. Saya beruntung melihatnya menangis, sesuatu yang tak saya duga di balik ketegaran dan “kepala batu”-nya di berbagai forum. Orang berkarakter memang cenderung sentimentil. Saya ikut hanyut dan membatin mengikuti kisah hidup di masa lalunya yang mengantarnya ke tangga sukses seperti saat ini.
Bagi saya, ada tiga hal yang istimewa, yang diungkap sendiri sosok Margarito. Pertama, penghargaan yang luar biasa pada sosok kedua orang tua yang membesarkannya dan menjadikan mereka sebagai patron dalam soal orientasi nilai-nilai kehidupan. Ini diakui sendiri Margarito, terlembaga dalam dirinya. Kedua, karakternya yang begitu kuat munghujam hingga bisa dibilang membentuk “made in“-nya yakni soal keperpihakan pada kaum lemah dan tertindas, pada struktur kehidupan sosial hingga kenegaraan yang dipandang tak adil dan menindas itu. Dan yang ketiga, penghargaan dan tahu berterima kasih pada orang-orang yang pernah menolongnya ketika susah. Itu poinnya bagi saya.
Khusus pandangan tentang pembelaan bagi kaum lemah dan tertindas ini pula, saya sedikit menyelaminya hingga membatin. Ide tentang pembelaan kaum lemah ini, banyak ditulis almarhum Nurcholish Madjid dalam perspektif Alquran. Berbeda dengan jualan platform partai politik kita. Kadang justru menjadikan kaum duafa ini sebagai komoditas politik, bahkan hingga “merampas” hak-hak mereka.
Margarito tentu memahami benar, perbedaan orang saleh dan orang yang muslih dalam perspektif Al-ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin. Orang saleh adalah orang yang gemar berbuat kebaikan tetapi kebaikannya hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Sedangkan orang muslih adalah orang yang gemar berbuat kebaikan tetapi kebaikannya bisa dirasakan dan dinikmati oleh orang lain. Jika dia memiliki harta, anak yatim ikut merasakan manfaatnya. Dia doyan berwakaf yang membuat orang lain ikut merasakan manfaatnya. Dan jika dia punya jabatan, orang lain pun ikut kecipratan manfaat dari jabatannya. Tidak berpikir untuk dirinya sendiri sembari merasa telah puas dengan semua kebaikan untuk dirinya.
Tinggalkan Balasan