Oleh: Asmar Hi Daud

Laporan investigatif Tempo.co edisi 17 Juni 2025 kembali mengangkat luka yang selama ini nyaris ditenggelamkan. Kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat tambang nikel yang kian meluas.

Dalam laporan tersebut, Yayasan Auriga Nusantara merilis enam rekomendasi kritis kepada pemerintah. Sebuah peringatan keras bahwa eksploitasi tambang bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga merobek kehidupan rakyat pesisir.

Gema kritik itu tidak sekadar bergema di ruang seminar atau lembaran laporan kebijakan. Ia mengetuk nurani kita semua—terutama bagi mereka yang hidup dan tumbuh bersama laut, seperti komunitas nelayan di Teluk Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara.

Dari sanalah, suara-suara yang selama ini diabaikan mulai nyaring. Suara lumpur yang menggantikan ikan, suara kelelahan yang menggantikan harapan.

Rekomendasi Auriga menyentuh inti persoalan. Tambang nikel yang terus dibiarkan berkembang di kawasan pesisir dan pulau kecil, bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga menghancurkan fondasi ekonomi rakyat pesisir dan mengguncang keadilan ekologis bangsa ini.

Negara Menambang Luka

Di Teluk Buli, luka itu tidak berupa metafora. Ia nyata, kasatmata, dan terdokumentasi oleh masyarakat lokal dan para peneliti. PT Aneka Tambang (Antam)—perusahaan milik negara—telah beroperasi di wilayah ini sejak awal 2000-an, membuka keran eksploitasi nikel yang dampaknya mengalir deras ke laut. Kerusakan terumbu karang, kekeruhan air laut, hilangnya biodiversitas, dan terpinggirkannya nelayan menjadi potret sehari-hari dari wilayah yang dulu begitu kaya akan sumber daya laut.

” _Kami kira yang masuk jaring itu ikan teri, ternyata hanya lumpur,”_ keluh seorang nelayan bagan di Teluk Buli. Kalimat sederhana ini menggambarkan betapa parahnya kerusakan yang dialami perairan mereka. Tangkapan cumi-cumi dan ikan teri—dua komoditas utama kehidupan nelayan lokal—terus menipis, menyisakan kelelahan yang tak lagi bisa ditebus oleh hasil laut.

Sayangnya, suara nelayan sering dianggap sebagai gangguan. Ketika mereka menyuarakan keresahan, kebijakan justru kaku dan membungkam. Dr. Abidin Fikri, M.Hum, peneliti sosial kelautan dari LIPI, pernah berkata: “Ketimpangan tata kelola ruang laut terjadi karena negara terlalu cepat menyerahkan pesisir pada logika investasi dan terlalu lambat melindungi komunitas yang menggantungkan hidup dari laut.”

Seruan dari Gugus Pulau

Pulau G, Pulau Pakal, dan Pulau Mabuli di Teluk Buli adalah contoh nyata dari pulau-pulau kecil yang mestinya menjadi kawasan penyangga ekologis penting. Namun, alih-alih dilindungi, pulau-pulau ini justru menjadi saksi bisu perambahan tambang dan pengabaian negara terhadap mandat konstitusi.

Padahal, dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara tegas disebutkan bahwa aktivitas tambang di pulau kecil sangat dibatasi. Namun, fakta berkata lain, negara melalui BUMN-nya justru tampil sebagai pelaku perusakan.

Data dari Policy Paper “Urgensi Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang di Episentrum Segitiga Karang” (Auriga, 2025) menunjukkan bahwa Pulau Pakal kini mengalami peningkatan Total Suspended Solid (TSS) dan Total Organic Matter—dua indikator ekologis utama yang menunjukkan bahwa perairannya tercemar dan tak lagi ramah bagi terumbu karang dan biota laut lainnya.

Ironi dalam Segitiga Karang

Teluk Buli dan wilayah sekitarnya berada dalam kawasan segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle), zona dengan tingkat biodiversitas laut tertinggi di planet ini. Indonesia memiliki 569 spesies karang batu atau sekitar 69% jenis karang dunia. Namun kekayaan ini perlahan musnah di tangan kebijakan ekstraktif yang membabi buta.

Menurut data Auriga, terdapat 65 izin tambang (IUP) nikel di Maluku Utara, tersebar di Pulau Halmahera, Pulau Gebe, Obi, Morotai, dan Taliabu. Semua lokasi ini terhubung dengan Laut Halmahera dan Laut Maluku—jalur strategis Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang membawa nutrien dan benih ikan dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Jika perairan ini tercemar, dampaknya bukan hanya lokal, melainkan nasional dan bahkan global.

Negara Melawan Konstitusinya Sendiri

Apa yang terjadi di Teluk Buli mencerminkan kontradiksi mendalam dalam tubuh negara. Di satu sisi, Indonesia menandatangani komitmen internasional untuk menjaga ekosistem laut. Di sisi lain, negara justru membuka ruang sebesar-besarnya bagi korporasi tambang, bahkan yang berada di pulau-pulau kecil.

Kita melihat ironi besar. Negara menyusun Indeks Kesehatan Laut, tetapi pada saat yang sama membiarkan tambang mencemari laut. Negara membentuk Peraturan Zonasi Wilayah Pesisir, tetapi gagal menempatkan perlindungan terumbu karang sebagai prioritas.

Butuh Tindakan Nyata

Sebagai akademisi dan warga Maluku Utara, saya percaya bahwa ini saatnya negara bertindak, bukan membela kepentingan modal atas nama hilirisasi.

Oleh karena itu, seruan:
Pemerintah harus menindaklanjuti rekomendasi Auriga, termasuk mencabut izin tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil seperti Teluk Buli; Audit lingkungan independen terhadap aktivitas tambang PT Antam harus dilakukan segera dan dipublikasikan terbuka; Pulau Pakal, G, dan Mabuli harus ditetapkan sebagai zona konservasi laut berbasis masyarakat, dan; Hak kelola laut dikembalikan kepada komunitas lokal, dengan pendekatan berbasis keadilan ekologis dan pengetahuan tradisional.

PT Antam sebagai perusahaan negara memikul tanggung jawab moral dan publik yang besar. Jika negara tak mampu mengawasi anak perusahaannya sendiri, maka masyarakat memiliki hak untuk bertanya: “Negara ini milik siapa?”

Jangan Tambang Masa Depan

Laut bukan halaman belakang industri. Laut adalah halaman depan bangsa maritim seperti Indonesia. Dan jika luka di Teluk Buli tak segera dijahit dengan keadilan dan keberanian politik, maka sejarah akan mencatat bahwa negara pernah menambang masa depan rakyatnya sendiri.