Oleh: Asmar Hi Daud
Setelah 100 hari pertama kepemimpinan Gubernur Sherly Laos berlalu dengan gebrakan di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar, publik mulai menatap ke depan. Apa sektor unggulan yang layak dikawal sebagai tonggak pembangunan jangka menengah Maluku Utara? Jawaban yang tak boleh ditunda adalah sektor perikanan.
Maluku Utara sebagai provinsi kelautan. Luas lautnya mencapai 145.817 km², jauh melampaui daratan yang hanya sekitar 31.982 km². Dengan zona perairan tangkap yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 dan 716, potensi lestari ikan diperkirakan mencapai 1,06 juta ton per tahun. Namun, tingkat pemanfaatannya baru sekitar 32–38%. Artinya, laut kita kaya, tapi belum dikelola maksimal.
Laut Kaya, Nelayan Sengsara
Nelayan Maluku Utara, sebagian besar adalah nelayan kecil dengan armada di bawah 5 GT, perahu ketinting, dan peralatan yang nyaris tak berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka bergantung pada cuaca, tanpa asuransi, tanpa teknologi pelacakan ikan, dan dengan akses BBM bersubsidi yang terbatas. Banyak di antara mereka harus menyeberangi perairan ke daerah tetangga, hanya untuk mencari hasil tangkapan yang layak jual.
Ironisnya, harga ikan di pasar lokal malah lebih mahal dibanding kota besar di Jawa. Nelayan menjual murah, masyarakat membeli mahal. Di tengah lumbung ikan, rantai pasok justru membuat nelayan merugi, tengkulak, dibo-dibo, pedagang untung, dan konsumen mengeluh harga ikan melangit.
Padahal, potensi pengembangan armada, penguatan koperasi, dan digitalisasi TPI (Tempat Pelelangan Ikan) bisa mengubah wajah perikanan tangkap dalam waktu singkat. E-logbook nelayan, subsidi BBM langsung ke koperasi, dan penambahan SPBN terapung adalah beberapa langkah konkret yang layak dikebut.
Emas Biru yang Terabaikan
Subsektor budidaya pun tak kalah menjanjikan. Rumput laut, kerapu, udang vaname, teripang, hingga ikan nila dan lele sistem bioflok adalah komoditas unggulan yang dapat dikembangkan berbasis gugus pulau. Namun apa daya, hingga kini sebagian besar pembudidaya masih bertumpu pada pola tradisional, tanpa kontrol kualitas pakan, tanpa sistem biosekuriti, bahkan tanpa akses pembiayaan atau jaminan pasar.
Padahal, teknologi budidaya telah berkembang pesat: sistem bioflok untuk air tawar, keramba jaring apung di laut, dan sentra pakan mandiri bisa diterapkan pada skala kecil menengah. Sayangnya, minimnya pendampingan teknis dan lemahnya peran Dinas teknis di level tapak membuat sektor ini seperti potensi yang tidur panjang.
Mengapa Ini Mendesak?
Pertama, karena perikanan adalah sumber penghidupan bagi lebih dari 70.000 rumah tangga di Maluku Utara, baik sebagai nelayan, pembudidaya, buruh, pengolah, maupun pedagang hasil laut.
Kedua, karena ketahanan pangan dan ekonomi biru tak mungkin tercapai tanpa transformasi sektor ini.
Dan ketiga, karena ketimpangan wilayah antara pusat-pusat pertumbuhan dan pulau-pulau terluar dapat dikurangi lewat penguatan ekonomi kelautan berbasis lokal.
Butuh Sentuhan Manis
Perikanan bukan sekadar “sektor teknis” yang digarap musiman, tapi harus menjadi strategi pembangunan regional jangka panjang, dengan roadmap yang jelas. Mulai dari klasterisasi kawasan perikanan, penguatan kelembagaan nelayan/pembudidaya, penyediaan teknologi murah dan tepat guna, hingga perluasan pasar dan akses pembiayaan berbasis KUR mikro.
Jika Maluku Utara benar-benar ingin keluar dari ketergantungan pada tambang dan birokrasi, maka perikanan-lah masa depannya. Masa depan yang tak lagi menunggu musim panen tambang, tapi menghidupkan laut, danau, tambak dan kolam sendiri, dengan tangan sendiri, untuk hidup yang lebih adil, berdaulat dan mandiri.
Sherly Laos telah menyalakan semangat perubahan, tapi itu baru sampai di perahu kecil dan layang-layang bagi UMKM perikanan. Yang dibutuhkan nelayan bukan sekadar bantuan musiman, tapi sistem yang memberdayakan.
Jika tambang adalah kekayaan yang bisa habis, maka laut adalah kehidupan yang bisa diwariskan.
Mari jadikan laut sebagai fondasi ekonomi biru melalui strategi pengelolaan yang tepat — inklusif, berkelanjutan, dan berbasis komunitas kepulauan di Maluku Utara.”
Tinggalkan Balasan