Oleh: Muis Ade
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
_______
DI tengah semangat pemerataan pendidikan di seluruh pelosok negeri, SMA Negeri 9 Kota Ternate justru menghadapi tantangan serius yang ironis: kekurangan guru. Permasalahan ini bukan hanya soal kekosongan kursi pengajar, tetapi menyangkut masa depan ratusan siswa yang berharap mendapat pendidikan berkualitas. Bagaimana mungkin kita bicara soal kualitas pendidikan, jika tenaga pendidik yang menjadi ujung tombak justru tidak tersedia?
Kekurangan guru di SMA Negeri 9 bukan sekadar data, tapi realita. Beberapa mata pelajaran penting seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), Sejarah, PPKN, Prakarya hingga Seni Budaya dilaporkan sering tidak memiliki guru tetap atau tidak memiliki tenaga pengajar. Akibatnya, pembelajaran menjadi tidak optimal, jam pelajaran kosong, dan siswa harus belajar secara mandiri tanpa bimbingan yang memadai. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menurunkan motivasi belajar, prestasi akademik, bahkan peluang siswa untuk bersaing dengan sekolah unggulan yang ada di kota Ternate.
Kondisi ini sangat memprihatinkan. Menurut data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara, kekurangan guru SMA di seluruh provinsi Maluku Utara mencapai lebih dari 300 orang per tahun (Data Disdikbud Malut, 2023). Kota Ternate sendiri kekurangan sekitar 50 guru tingkat SMA, dan SMA Negeri 9 termasuk yang terdampak paling besar.
Prof. Dr. Muchlas Samani, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya, dalam bukunya Reformasi Pendidikan Nasional (2020), menegaskan bahwa tidak akan pernah ada pendidikan bermutu tanpa guru bermutu dan cukup. Kekurangan guru adalah akar dari rendahnya mutu pembelajaran.
Ketimpangan ini tentu berdampak besar. Siswa menjadi tidak mendapat pembelajaran yang optimal, persiapan menghadapi Ujian Sekolah dan UTBK menjadi lemah, dan potensi generasi muda daerah untuk bersaing secara nasional semakin menurun.
Permasalahan ini tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah Provinsi Maluku Utara, melalui Dinas Pendidikan, harus melakukan langkah konkrit. Pertama, segera mendata kebutuhan guru di setiap sekolah secara akurat dan transparan. Kedua, mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar formasi guru PPPK tahun 2025 mengutamakan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), termasuk Ternate dan wilayah sekitarnya.
Fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab. Pertama, sistem rekrutmen guru PNS atau PPPK yang tidak memperhatikan kebutuhan riil sekolah-sekolah di daerah menjadi faktor utama. Kota Ternate, dan khususnya wilayah kepulauan seperti Moti, sering terpinggirkan dalam distribusi tenaga pendidik. Kedua, insentif bagi guru yang bersedia mengabdi di daerah masih sangat terbatas. Akibatnya, banyak guru lebih memilih bertugas di kota-kota besar.
Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan yang merata bukan hanya soal bangunan sekolah atau kurikulum, tetapi juga tentang hadirnya guru di ruang kelas yang menjadi sumber inspirasi, pembimbing, sekaligus penggerak perubahan.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya Dinas Pendidikan, harus bertindak cepat dan serius. Pertama, dengan melakukan pendataan kebutuhan guru yang akurat di setiap SMA, termasuk SMA Negeri 9 kota Ternate. Kedua, mengusulkan formasi baru guru sesuai kebutuhan dalam rekrutmen ASN dan PPPK. Ketiga, mendorong program insentif bagi guru honorer atau kontrak daerah agar mereka tetap bertahan di sekolah-sekolah yang kekurangan guru.
Jika tidak ditangani segera, kekurangan guru ini akan menjadi lingkaran masalah yang terus berulang setiap tahun ajaran baru. Dan yang paling dirugikan tentu adalah generasi muda yang seharusnya menjadi penerus masa depan daerah khususnya di Kecamatan Moti Kota Ternate Maluku Utara. (*)
Tinggalkan Balasan