Oleh: Bung Opickh

________

SEBULAN belakangan ini, platform media sosial dibanjiri berita ihwal pertambangan. Berita-berita itu disodorkan bagaikan menu breakfast, lunch dan dinner. Enak dibaca bukan lezat seperti lalapan tapi karena viral, menggugah selera, hati dan pikiran. Ini bukan berita biasa, ini tragedi yang sama terjadi di era kolonial Belanda.

Ketika tanah pribumi dirampas, ditindas di Lebak, Banten, selama masa pemerintahan Kolonial Belanda. Tragedi itu ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dalam sebuah novel yang berjudul “Max Havelaar” terbit pada tahun 1860. Eropa diguncang dan Belanda ditelanjangi atas dosa-dosanya yang sengaja dipendam kala itu.

Teman-teman, tanah itu tak sekadar untuk berkebun, membangun rumah dan gedung-gedung pencakar langit. Tetapi tanah adalah simbol peradaban manusia. Ia sebagai penanda status sosial dan kekuasaan. Sejak ribuan tahun lalu, tanah dijaga bagaikan raja dalam papan catur. Ia tak boleh diganggu, apalagi diambil.

Dari tanah itulah peradaban ini diukir, dibangun dan dibentangkan dengan kemegahan, kecanggihan dan kemakmuran yang bervariasi. Namun semua itu tak mudah diwujudkan. Ia diperjuangkan dengan darah, tangisan dan nyawa sebagai tumbalnya. Begitu juga dengan tanah di Maluku Utara, khususnya Halmahera, yang hari ini dinikmati oleh segelintir manusia serakah.

Dulu abad 16, kedatangan bangsa Portugis, Spanyol dan disusul Belanda tak ada tanah yang dirampas paksa, dipukuli dan tak ada yang berakhir ke penjara hanya karena kepentingan pertambangan. Mereka memang mencari keuntungan tapi lewat monopoli perdagangan, bukan hilirisasi dengan janji kesejahteraan sosial. Bohongi itu mitos dalam cerita legenda negeri kayangan.

Nenek moyang kita berjuang mati-matian kala itu, bukan sultan sendirian. Ini soal rakyat, soal kehormatan dalam sejarah kepemilikan. Kalau soal kerajaan itu urusan para raja dan ksatria yang hobi membagi-bagi kekuasaan. Seperti yang terjadi dalam sejarah Yunani dan Romawi. Saya lebih fokus pada kepemilikan pribadi sebagai manusia dan sebagai warga negara pasca kemerdekaan Indonesia.

Ini yang mesti kita debatkan. Bukan soal hak ulayat tetapi soal hak individu. Hemat saya jika adat dihadapkan kepada negara itu tak ada solusi karena kekuatannya berada di satu orang. Berbeda dengan people power atau kekuatan rakyat, sangat kuat karena kekuatannya tersebar di semua tangan. Artinya semua memiliki kedaulatan atas hak sebagai warga negara.

Seperti yang terjadi di Eropa sekitar abad 18, ketika Adam Smith, John Locke, David Ricardo, Fredric Hayek dan Jean Rousseau berjuang tentang “Social Contract” kesepakatan bersama termasuk tentang kepemilikan atas suatu benda dalam negara yang demokratis. Bukan monarki atau kerajaan. Kita patut mencurigai bahwa pertambangan adalah agenda oligarki yang berselendang program strategis negara: hilirisasi industri dan percepatan kesejahteraan sosial.

Yang hanya bisa dianulir oleh kekuatan rakyat bukan kerajaan. Jika agenda negara kenapa rakyat menjadi korban, kenapa tanpa aneksasi dan agresi militer tapi tanah rakyat hilang dari tangannya. Jika anda menanyakan sertifikasi tanah, tanya pada sungai yang mengalir dan pepohonan yang anda tebang. Mereka pasti berbisik “bos, ini tanah nenek moyang kami”. Negara hadir di tahun 1945, sementara nenek moyang kami ribuan tahun yang lalu sudah ada di sini di tanah Halmahera.

Artinya negara memiliki konstitusi yang menghargai kepemilikan warga negara tanpa sertifikat sekalipun. Kita bisa buktikan lewat tradisi batas-batas kebun dan cerita turun temurun lewat tetua di desa kalau tanah itu milik siapa? Tidak semua hukum itu normatif, ada yang non normatif. Bahwa hukum itu mesti menegakkan keadilan bukan membela korporasi yang mungkin saja saat ini sedang duduk enak di hotel mewah di Cina, atau lagi minum wine di bar sambil main togel di kasino Singapura.

Rakyat Halmahera hanya butuh negara datang dengan nuraninya untuk melegalkan keadilan, apalagi 11 ayah yang dipenjara hanya karena membela hak kepemilikannya. Kebun mereka hilang, sungai dan pepohonan yang menjadi nadi kehidupan mereka dibabat habis oleh ratusan Excavator. Tanpa ada negosiasi yang matang tetiba semuanya lenyap. Padahal menurut Thomas Hobbes “keadilan didasarkan pada perjanjian sosial yang disepakati oleh individu-individu. Ketika semua pihak menaati perjanjian tersebut”.

Sementara Aristoteles memandang, “keadilan terbagi menjadi dua yaitu keadilan distributif: pembagian sumber daya secara adil. Kemudian keadilan korektif: pemulihan keseimbangan dalam hubungan sosial. Bahwa keadilan adalah keseimbangan dan ukuran keseimbangan tersebut adalah kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Di perut tanah Halmahera itu tumbuh pepohonan, dan aliran sungai yang bening.

Tempat dimana ribuan tahun masyarakat hidup tanpa bergantung pada APBD dan APBN. Tentang jutaan cerita yang disita, tentang cinta tanah air yang selama ini dinyanyikan akan sirna. Sebab tanahnya dirampas, bukan dengan pedang atau senjata tetapi dengan tangan yang tersembunyi. Dengan dua buah mitos yang namannya lapangan kerja dan kesejahteraan.

Pohon yang mengajarkan kita untuk tetap sabar dan terus tumbuh, meski badai menerjang dan kemarau panjang menghantui. Sungai yang mengajarkan kita untuk selalu mengalirkan kebaikan, sejuk bertutur dengan etika, dan moralitas. Kini semuanya terancam hilang jika semuanya diam. Sedih bukan karena putus cinta atau perpisahan tapi ada sejuta harapan yang dirampas oleh kepentingan korporasi.

Dikepal ratusan ekskavator itu, bukit, pohon, sungai dan kebun milik rakyat dibabat habis. Entah siapa yang memulai, apa elit lokal yang mendatangkan korporasi ataukah elite Senayan? Semuanya bersembunyi di balik seragam coklat atas nama pengamanan proyek strategis. Tapi yakinlah kebenaran memiliki caranya sendiri untuk berdiri. Jika tidak maka revolusi Prancis atau Inggris bisa saja terjadi di sini, di tanah yang pernah mengusir kaum imperialisme.

Jadi tak ada pilihan lain selain membuka ruang untuk berdiskusi antara negara dengan rakyatnya. Untuk mendapatkan solusi sebagai kesepakatan yang final: apakah tambang terus berlangsung atau pergi untuk selama-lamanya. Seperti yang ditawarkan Jurgen Habermas, tentang “Teori komunikasi dalam membangun Demokrasi”, berfokus pada bagaimana komunikasi dan argumen rasional memainkan.

Ataukah seperti cerita tentang Umar bin Khattab dalam menegakkan keadilan terhadap seorang petani non muslim yang tanahnya digusur dan dirampas tanpa bayar Umar bin Abdul Aziz sebagai Gubernur Mesir kala itu. Dengan alasan untuk membangun masjid. Petani itu tak mau meski dibayar dengan harga tinggi. Ia lalu pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khattab.

Umar hanya mengoreskan pedangnya di sebuah tulang Unta, membentuk garis lurus. Lalu dibawa oleh petani non muslim itu, agar berikan kepada sang gubernur Mesir. Gubernur gemetaran melihat tulang itu, yang memiliki pesan: tetap lurus dalam menegakan keadilan, jangan memandang agamanya, ras dan etnisnya. Akhirnya tanah miliki dikembalikan kembali seperti sediakala tanpa ada neko-neko apapun. (*)