Oleh: Yoesran Sangaji

Mahasiswa Sosiologi FISIP UMMU

_______

WAYATIM, April 2025. Tanpa surat panggilan, teras rumah telah ditempati oleh sekelompok orang. Tua-muda berkumpul, bincang perempuan, tak lain menanyakan keberadaan tubuh sosial. Yang warga tempatan ini –dengan lekas– menutup diskusi atas kematian sosiologi.

Mula-mula, pembicaraan mengenai pernikahan di bawah umur. Totalnya lima orang, di Sekolah Menengah Atas, yang hilang harapan ini terdiri dari tiga perempuan, dua laki-laki. Duanya dari ketiga perempuan dan satunya laki-laki terjadi sejak 2024. Satunya pada 2023 dan tahun sebelumnya.

Dan bacarita ini mengalir, hingga perkara tubuh dan seksualitas. Tindakan rudapaksa di pedesaan Bibinoi (pulau Bacan) misalnya, membuat saya tak habis pikir. Bagaimana mungkin, yang di sisi lain, menyuarakan keadilan korban yang diperkosa oleh 16 laki-laki sejak di bangku SD-SMP, di samping itu, memandang dan mengambil contoh kasus orang lain untuk menyalahkan tubuh perempuan.

Meski terdapat keberpikiran yang dangkal, aneh, (kerap disebut warga tempatan ini kampungan, awam), justru pada teras menerangkan fakta sosial. Kalaupun dibaca –secara cermat– bentukan pikiran tersebut ditandai oleh kepengaturan sosial, termasuk dengan aturan simbolik juga berlaku di pedesaan yang lain. Dan menyoal tubuh bukan hal yang baru dalam ilmu pengetahuan.

Yang sedemikian mengingatkan saya pada bulan Juni tahun 2022, ketika berinteraksi gagasan dengan Herman Oesman di sekretariat sosiologi – yang kala itu digunakan sebagai tempat pelaksanaan Sociology Festival II (SocFest II), mengajukan pertanyaan yang sama. Apakah sosiologi telah mati?

Bukan tanpa alasan. Pertanyaan di teras maupun di sekretariat penting direnungkan. Kematian sosiologi, meminjam ungkapan Giddens, muncul atas “strukturisasi” di lapangan sosial. Ini yang berlangsung, berhubungan, mengatur keberakhiran sosiologi.

Dengan kata lain, kematian sosiologi –bilamana saya tak keliru– oleh Herman Oesman menyuruh pergi pada keberpikiran sosiologi yang menghidupkan sosiologi inkonsisten. Yang keberakhiran ini tampak dari matinya kesadaran dan pengetahuan akademik yang tak menyoal tubuh dalam pikiran sosial.

Dan tubuh sosial itu tak boleh kosong dari paradikma, disiplin akademik, fleksibel, diperlukan bukan sekedar teoritis semata, tetapi suatu gejala sosial yang dalam kenyataan menghiasi kehidupan kita. Yang dari situ –tanpa disadari– membentuk pikiran dan tindakan orang lain.

Itulah persoalannya. Pada waktu ini, terbilang lambat. Yang tergambar dari perkembangan ilmu pengetahuan, keadaan geografis, dan demokrasi. Sementara di Eropa, tahun 1960-an, yang pemikiran postmodern ini mekar secara luas. Dan yang demikian, menghadirkan reaksi pada pemikir ilmu sosial. Foucault, Lacan, sebagai contohnya. Sedang Indonesia, diketahui sejak 1990-an di tengah masalah tubuh yang dipecahkan secara serius oleh sosiologi di arena pemikiran postmodern tersebut.

Bagaimana dengan Maluku Utara? Sungguh-sungguh kecuali pengetahuan teoritis dikonsumsi secara akademis, yang berlainan dengan masyarakat pada umumnya. Dan inilah yang luput dari pikiran sosiologi seketika tubuh dilihat dan dipikirkan, tak melulu orang menyebut dapat memanjakan mata, tubuh kita ber-ada di sana bersamaan orang ikut memikirkannya.

Memikirkan mengapa tubuh dilihat dan melihat sudah merupakan masalah dalam masalah. Maksudnya, yang dipikirkan tidak lagi menunggu momen, peristiwa, data, melainkan ia (tubuh) ber-ada dalam kehidupan dunia.

Dalam kehidupan, keberadaan tubuh ini kemudian dipikirkan. Keduanya berhubungan. Namun, pada kenyataannya, tersembunyi dalam bahasa dan pikiran orang. Yang dijadikan sebagai alas pengetahuan dan kekuasaan.

Jika diperiksa, apa yang dilihat dan dipikirkan, adalah melupakan sekaligus mengingat. Demikianlah orang berpikir, bercerita, yang dalam diam; kadang tak terpikirkan, tak terdengarkan, pula merelakan tubuh yang lewat.

Ketersembunyian itu tidak terungkap berkat “imajinasi” yang dimiliki dan dimanfaatkan sebagai kekuatan mengagumkan. Di samping itu, tubuh bermula dan bermuara dalam kebahasaan masyarakat. Dan bahasa sebagai sumber dan sirkulasi berlangsung di mana pikiran orang menetapkan kuasa pengetahuan –yang digunakan sebagai objek sekaligus subjek yang dipikirkan oleh orang ramai.

Pada apa yang dipikirkan erat dengan melihat dan dilihat. Dengan penuh harap, semuanya langsung terlihat. Lainnya melihat tanpa dilihat maupun dilihat dari yang melihat. Kalau dipikirkan baik (maupun buruk), maka menjinakkan tubuh dengan kontrol dan kenikmatan. Adapun menjinakkan disebut sebuah ancaman. Dan ancaman ini tinggal dalam kepatuhan dan pendisiplinan. Seolah-olah apa yang dipikirkan semua itu baik pula rasional.

Klaim yang tidak berdasar ini tak perlu dipelihara, dipertahankan, berkeras hati, apalagi menggunakan dalil agama dan kebudayaan. Malahan sebaliknya memperkuat relasi kuasa dalam keberpikiran, dan pengetahuan diperoleh untuk mengsuperoritas orang lain. Dan ini telah sedia dalam pikiran masyarakat, –sebagaimana di teras– mendengar kata “tubuh” lekas disimpulkan “kepatuhan”. Perkara yang tak sekali terjadi di desa ini bukan berarti tidak berlaku ditempat lain. Yang perspektif demikian dikarenakan tidak beralaskan pada pembacaan mendalam, sekaligus dijauhkan oleh sistem pendidikan –salah satunya– yang tak menyoal tubuh dan pendidikan seksual (sex education).

Padahal, sebuah ajaran memungkinkan kita belajar apa artinya kebertubuhan. Dan mengharuskan siapapun melawan sudut pandang yang diganjal secara apik oleh misoginis dan dominasi, termasuk pada struktur argumentasi membenarkan subordinasi, yang keperpikiran ini memperketat hidup dalam kepengaturan sosial.

Dan pada teras itu, adalah tanda mengapa sosiologi tubuh dianggap sebagai musuh dan nista. Bahwa tubuh yang patuh, –ditegaskan– harus “patuh” pada pengaturan sosial, yang diartikan “patut mengikuti” pandangan universal untuk mengukuhkan kepercayaan, nilai, norma, yang lekat dengan kehidupan masyarakat.

Tidak berhenti sampai di situ. Pada aturan simbolik juga terbentuk dan dibentuk oleh struktur sosial, yang diatur melalui rangkaian tanda yang berhubungan, saling menguatkan, dimaksudkan sebagai kekuatan untuk mengatur tubuh perempuan dengan bahasa masyarakatnya, lalu tak berhentinya internalisasi aturan, objektifikasi dan komodifikasi. Di sisi lain, kekuasaan disiplin bekerja, juga sarat dengan phallosentris.

Yang semua itu tidak saja membawa warga tempatan soalkan. Tanggapan atas tubuh, di banyak tempat, orang percaya; jika tak mengatur “kepatuhan” akan simpulan buruk dalam pikiran, justru tubuh berkata tidak sepemikiran sebagai cara ber-ada dalam kehidupan. Dan sosiologi menegaskan, senantiasa menyoal demikian. (*)