Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
_______
“…Ruang pasar di Kota Ternate kian menyempit, akibat dikuasai logika pembangunan kapitalistik”
DI pagi yang hangat dan bising, aroma ikan asin dan rempah yang bergulat dengan asap knalpot menyambut siapa saja yang menapaki lantai-lantai becek Pasar Gamalama/Bahari Berkesan. Di antara kaki-kaki yang terburu dan gerobak yang menyeruduk ruang, ada drama yang tak selesai—perebutan ruang, kisah lama yang terus menjelma dalam wujud baru.
Pasar bukan sekadar tempat jual-beli. Ia merupakan ruang hidup, medan interaksi sosial, bahkan teater ekonomi rakyat kecil.
Namun, seiring waktu, ruang pasar di Kota Ternate kian menyempit, bukan karena langit menyusut, melainkan karena ruang kota dikuasai oleh logika pembangunan kapitalistik—yang lebih menyukai kaca dan pendingin ruangan daripada tenda sobek milik penjual sayur.
Pembangunan mal, mini market berjaringan, dan kawasan perdagangan modern di pusat kota telah meminggirkan pasar tradisional ke pinggir sejarah.
Para pedagang kaki lima (PKL), yang dahulu menjadi urat nadi perekonomian kota, kini dianggap sebagai ‘pengganggu estetika’ (Harsono, 2019: 77).
Mereka digusur atas nama keteraturan, direlokasi ke ruang-ruang sepi yang tak berpenghuni, dan dibiarkan bersaing dengan bayang-bayang kosong.
Padahal, seperti dicatat oleh Henri Lefebvre (1991), ruang bukanlah sekadar wadah, tetapi hasil dari relasi sosial dan kekuasaan.
Di Ternate, ruang pasar kini menjadi arena kontestasi antara ekonomi rakyat dan kapitalisme kota. Di satu sisi, negara hadir melalui kebijakan penataan kota yang cenderung mendewakan para pemodal; di sisi lain, rakyat kecil berjuang mempertahankan lapak, bahkan di trotoar yang kian menyempit.
Dalam konteks ini, pasar tak lagi netral. Ia telah menjadi palagan: siapa yang berhak tinggal, dan siapa yang harus hengkang. Pemerintah Kota Ternate seolah memanggul semangat modernisasi ala Orde Baru—“tertib, bersih, dan indah”—tapi lupa bahwa di bawah tenda robek dan gerobak kayu itu ada kehidupan, bukan sekadar kekacauan visual.
Membaca beberapa hasil riset, dinyatakan, kebijakan relokasi PKL di Kota Ternate pascarevitalisasi Pasar Gamalama tahun 2019 tidak lagi mempertimbang- kan pola mobilitas dan preferensi konsumen. Akibatnya, banyak PKL yang memilih kembali ke lokasi lama secara ilegal karena tempat baru tidak menghasilkan pendapatan yang cukup.
Kota ini, yang dahulu menjadi pusat rempah dunia, kini menjadi tempat di mana ruang diperdagangkan lebih mahal dari cita rasa. Seolah-olah tanah hanya pantas ditempati oleh mereka yang mampu menyewa, bukan oleh mereka yang menghidupi kota dengan keringat dan harga cabai.
Lalu, di setiap senja yang jatuh di antara menara Masjid Al-Munawwar, di mana suara azan menyesap dan menggema di dinding-dinding Benteng Oranje, para pedagang kecil terus menata dagangannya, mungkin dengan harapan yang sama: agar esok lapaknya tak diratakan, agar anaknya bisa tetap sekolah, agar hidup bisa tetap dijual, satu ikat kangkung demi satu kebutuhan keluarga. Ah, kotaku…! (*)
Tinggalkan Balasan