Oleh: Bung Opickh

Penulis Buku

_______

PERCAKAPAN tentang perempuan tak sekadar soal gender, ia lebih dari itu adalah nadi mati-hidupnya sebuah negara dan peradaban. Rusaknya perempuan berimplikasi pada rusaknya negara, hormatnya perempuan adalah kehormatan sebuah negara. Bahkan dalam hukum dan keadilan perempuan merupakan produser lahirnya hukum dan keadilan.

Sejak dalam kandungan perempuan berupaya melindungi seorang bayi agar mendapatkan nutrisi yang adil untuk tetap sehat bugar dalam menyongsong hidupnya pasca dilahirkan. Inilah alasan hukum dan keadilan bersumber pada penjagaan ketat si ibu (perempuan). Perempuannya adalah hukum dan keadilan itu sendiri.

Tetapi sayangnya banyak dari kita abai terhadap bagaimana menghormati dan memuliakan perempuan. Ada banyak kasus tentang pemerasan, pemerkosaan, menduakan dan mengkriminalisasikan perempuan dewasa ini. Bahkan dalam pentas politik pun, negara hanya mengakomodir 30% jatah untuk perempuan. Kenapa tak fifty-fifty?

Memangnya pekerjaan di parlemen menggunakan otot; memikul, mengangkat dan berkelahi? Kan tidak. Semuanya hanya mengunakan pikiran dan hati untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan. Hal-hal yang beginian mesti dipercakapkan, bahwa perempuan harusnya memeluk hukum agar keputusan beraromahkan kasih sayang. Perempuan mestinya memeluk sistem agar setiap keputusan terdistribusi secara adil seperti ia mengayomi seorang bayi. Bahkan perempuan setidaknya mesti dijadikan ratu agar lelaki menjadi rajanya. Begitu logikanya.

Jangan memandang perempuan sebagai subjek yang lemah. Itu yang keliru, paradigma baru tentang perempuan itu penting dan patuh dimuliakan adalah bentuk keadaan yang istimewa. Sebab dosa sejarah telah disempurnakan oleh mereka yang mencintai dan memulihkan perempuan itu sendiri. Misalnya di zaman jahiliyah, perempuan dianggap hina dan rendah. Menjadi simbol ketertindasan kelemahan. Kala itu, perempuan dapat diwariskan sebagai sisa harta warisan dan tidak memiliki hak untuk menerima warisan keluarga atau kerabatnya.

Namun potret tersebut sirna ketika datangnya Islam, perempuan mengalami emansipasi secara besar-besaran. Di manjakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, dalam laku kehidupan. Ribuan tahun Islam memuliakan kaum perempuan. Ia dicintai oleh suaminya, saudaranya dan masyarakat seantero kota Madina dan sekitarnya. Semua wanita yang telah layak menikah mesti dinikahi oleh seorang pria. Jika suaminya gugur dalam Medan tempur maka lelaki yang lain harus menikahi, begitu asal muasal terjadinya “poligami”. Bukan berlebihan memiliki wanita tapi itu situasinya.

Hal yang serupa dilakukan agama-agama samawi lainnya perempuan mendapatkan posisi yang istimewa. Seiring waktu berjalan di abad ke 17, perempuan mengalami lompatan emansipasi yang jauh di puncak panggung politik Eropa dan dunia. Di Paris Prancis tahun 1789, terjadi revolusi pertama yang membawa perubahan esensial di sektor industri dan merebah ke tatanan kehidupan lainnya yang mulai membuka sedikit tirai untuk peran perempuan. Meskipun masa revolusi itu, belum membawa berdampak yang signifikan terhadap kesetaraan gender atas hak-haknya.

Tekanan demi tekanan pergerakan perempuan terus berhembus, hingga pada tahun 1884, Prancis mengalami Transformasi pemerintahannya dari rezim Monarki Absolut (Monarchie Absolue) menuju Republik. Gerakan itu memuncak pada masa Republik Keempat tahun 1944 (Vovelle, 1988). Gerbang sejarah baru telah terbuka bagi perempuan melalui sistem demokrasi pertama di Prancis dan wanita sebagai salah satu simbol dan pondasi utamanya.

Pergerakan perempuan juga terjadi di Amerika. Pada saat Revolusi “Boston Tea Party; tanggal ,16 Desember 1773”. Protes yang dilakukan oleh rakyat Amerika dengan menyerang kapal-kapal Inggris dan membuang ratusan peti kayu berisi teh.
Perempuan kala itu, membuat kain tenunan sendiri, bekerja memproduksi barang dan jasa untuk membantu tentara, dan bahkan menjadi mata-mata.

Kebebasan perempuan dan dunia itu diabadikan melalui karya monumental yaitu pembuatan “Patung Liberty”. Makna filosofi dari patung Liberty itu adalah Dewi kemerdekaan, patung tersebut adalah seorang wanita yang persis mirip dengan ibu kandung sang Arsitek Gustave Alexandre Eiffel, yang juga pembuat menara Eiffel di Paris.

Nama patung itu, sebenarnya adalah “Liberty Enlightening the World” atau Liberty yang menyinari dunia. Patung ini digambarkan sebagai seorang wanita yang sedang membebaskan diri dari belenggu tirani dengan tangan kanan yang memegang sebuah obor dengan api yang menyala, ini melambangkan kebebasan.

Di Indonesia gerakan emansipasi perempuan baru terjadi pada tahun 1879-1904, yang dipelopori oleh R.A. Kartini, surat-suratnya diterbitkan dalam judul “Door duisternis tot licht” artinya Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane (Supardan, 2008). Juga dalam bukunya Sidney Hook yang berjudul “The Hero in History”. Dia mengurai konsep “the vent making woman” adalah perempuan yang Tindakan-tindakannya memiliki kapasitas intelegensia dan pekerja keras.

Karena itu, untuk mengenang sosok R.A Kartini. Presiden Bung Karno telah menetapkan tanggal 21 April 1964 sebagai hari Kartini. Sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan dan dedikasinya.

Selamat Hari Kartini, harumlah namamu untuk menjadi inspirator bagi wanita-wanita hebat Indonesia kini, nanti dan selamanya. (*)