Oleh: Bung Opickh

Penulis Buku

_______

MARI kita berbincang tentang pembangunan yang tampak di mata kita, baik fisik dan non fisik, sejatinya dirumuskan menjadi kebijakan yang populis. Siapkan kopi dan rokoknya dulu, kawan. 16 tahun berlalu adalah waktu yang cukup bagi seorang arsitek untuk membangun sebuah daerah yang maju, adil dan sejahtera: seimbang antara beton, perut dan pikiran rakyat.

Banyak dari kita yang terjebak, terpaku dan terhipnotis dengan kemegahan pembangunan yang menyerupai Dubai dan Paris di Prancis. Gedung-gedung mewah berbau teknokrat dibangun. Morotai tampil seakan sedang bersiap menjemput globalisasi di kawasan Asia-Pasifik, tetapi tersimpan deretan kisah pilu di balik kesan kemajuan hari ini.

Memang betul: air PDAM gratis, BBM bersubsidi, BUMDES, sekolah unggulan, rumah sakit, puskesmas, masjid agung, gedung Oikumene, rumah layak huni, reklamasi pantai, spot-spot wisata dan lainnya dibangun yang tersebar hingga ke pelosok terpencil di Pulau Morotai. Tetapi perut dan pikiran rakyat terabaikan. Air bersih gratis tapi lebih banyak disedot oleh hotel-hotel mewah dan elite yang mapan ekonominya. Rakyat kecil terbengkalai, pipanisasi tersendat air membelok tak pernah sampai ke dapur-dapur yang kering.

Minyak sulit didapat, begitu juga air bersih, situasi ini jauh lebih buruk dari yang terjadi di negara Kuwait yang airnya lebih mahal daripada BBM. Morotai mungkin sama situasinya dengan Palestina hanya saja tak ada perang di sini. BBM subsidi hanya simbol kebijakan negara tetapi jauh terealisasi menyalakan kompor yang memasak makanan rakyat miskin. Lucu tapi itulah kenyataannya di Pulau Morotai. BBM selalu dikeluhkan publik.

Di segmen lain, pendidikan misalnya kehadiran sekolah yang megah dengan konsep unggulan, masih belum cukup menjawab harapan pendidikan yang merakyat dan berkualitas. Ada banyak siswa yang sering tak hadir di kelas karena jarak sekolah yang jauh. Ada banyak siswa yang kelaparan sebelum program makan gratis dicanangkan oleh presiden Prabowo. Begitu juga para guru yang kesulitan mencukupkan jam mengajarnya untuk syarat sertifikasi. Ini adalah cerita yang tersembunyi di balik kemegahan sekolah unggulan itu.

Mestinya unggul itu, sinergitas antara bangunan fisik dengan bangunan manusianya. Sebuah ironi dalam mimpi Indonesia Emas 2045, yang katanya pikiran generasi adalah prioritas. Begitu juga dengan rumah sakit dan puskesmas mewah yang tersebar di enam kecamatan yang belum menihilkan keluhan pasien atas sejumlah fasilitas obat dan air bersih.

Di puskesmas ada banyak cerita kematian ibu dan bayi ketika melahirkan lahir. Semua itu adalah soal pelayanan dasar. Bukan sekadar fasilitas dan bangunan yang terakreditasi tetapi memulihkan atau menyehatkan pasien merupakan target yang prioritas. Seperti kata, Ibnu Sina “kebahagiaan sejati adalah menyelamatkan orang lain” bukan sebatas memperoleh insentif yang fantastis.

Teguk kopi dan tarik rokoknya dulu, kawan, baru kita lanjut ceritanya. Pasar, lapak dan mal dibangun tanpa persiapan yang matang; siapa produsen dan berapa banyak konsumen yang datang. Ini nestapa di balik jejeran beton di areal pasar central business district yang abai terhadap daya beli masyarakat dan justru menyimpulkan betapa borosnya infrastruktur. Pembangunan terkesan estetik, bukan populis. Reklamasi pantai dengan konsep “Water Front City” yang tak memberi efek benefit, tembok dibangun sebagai pelindung taman padahal menyembunyikan wajah kota yang disebut kumuh.

Silakan diperiksa persentase kesejahteraan masyarakat Pulau Morotai di periodik sebelum (2017-2024). Data statistik menunjukkan kemiskinan tertatih-tatih, indeks pembangunan manusia terendah dari kabupaten-kota di Maluku Utara. Ini cermin masa lalu Morotai yang kusam, asam dan penuh kemelut. Entah siapa yang salah?Konsep pembangunannya, pimpinannya ataukah rakyat yang salah memberi daulatnya? Yang pasti sejarah akan menyalahkan pimpinan di masa itu.

Kini telah datang pemimpin baru yang terpilih dari semangat gotong royong dari elite dan grassroot hanya satu tekad ” rakyat harus sejahtera”. Visi yang diusung yaitu Unggul, Adil dan Sejahtera. Dengan beberapa program: memberikan insentif kepada janda, lansia, tukang sapu sekitar Rp 2.000.000, pokoknya semua naik yang turun hanya hujan dan celana saja.

Program itu dianggap mustahil atau irasional bagi lawan politiknya, ibarat dongeng dalam cerita Abunawas atau semacam karya fiksi Harry Potter dan Wiliam Shakespeare dalam perfilman. Apalagi bagi mereka yang sentimen terhadap perubahan, katanya mustahil. Tetapi rasional dan logis bagi mereka yang menanti perubahan.

Langkah ini jarang dilakukan oleh para pemimpin dunia dewasa ini, kecuali anda pergi ke Iran di masa Ahmad Dinejad, Louis Mujica di tahun 2010-2015 memimpin Uruguay. Ia menghibahkan 90% gajinya di sektor pendidikan dan bantuan sosial. Hidupnya penuh kesederhanaan. Atau lebih jauh lagi anda pergi ke sejarah kenabian atau kisah-kisah pemimpin yang bijaksana di ribuan tahun lalu.

Kebijakannya tak biasa, butuh keberanian dan kenekatan di tengah-tengah inflasi dan defisit keuangan daerah. Birokrasi kaget, politisi bimbang, kontraktor kecewa dan oligarki murka. Karena mereka mungkin telah lama terbiasa menikmati upeti dan out fee dari selembar kertas dan beton yang ditender melalui infrastruktur fisik.

Saya meyakini, keputusan ini, tak sekadar merupakan hasil dari konvensi elite partai politik diatas meja bundar dan skenario strategis untuk memenangkan Pilkada. Tetapi ini adalah sebuah niat yang tulus, ikhlas dan suci untuk “sedekah sosial” dari seorang pemimpin yang terpilih di periode 2025-2030. Ada sinyal kebaikan, bahwa kepemimpinan yang baru ini sedang meracik model pembangunan terbaru; menggeser episentrum pembangunan dari “Beton ke Perut dan Pikiran Rakyat”.

Selaras dengan pikiran Abraham Lincoln, Demokrasi adalah sebuah sistem kenegaraan yang kedaulatannya bersumber dari rakyat “From the people, by the people for the people” dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahwa pemerintahan yang baru ini, ingin meletakkan fondasi demokrasi yang demokratis, dengan mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan melalui kebijakan full insentif atau dengan kata lain APBD langsung ke kantong rakyat.

Kebijakan ini tentu tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mempertahankan dari periode ke periode di masa depan. Ia mesti konsisten terus berlangsung tak boleh hanya sebagai penghibur dalam pentas sirkus selama lima tahun. Ini perlu diapresiasi karena yang namanya kebijakan sekecil apapun itu jika memihak kepada rakyat maka pantas dan layak mendapatkan tepukan tangan dari mereka yang rasional.

Sebab pemerintahan hari ini, ibarat air di tepi pantai yang menghapus jejak rezim sebelumnya; ada kekhawatiran, kegelisahan dan kepasrahan dari kebijakan rezim sebelumnya yang menyakini bahwa infrastruktur adalah prioritas utama sebagai instrumen pendukung percepatan kesejahteraan. Padahal banyak kesenjangan sosial yang terjadi tanpa disadari, terselubung di balik bangunan-bangunan megah yang berjejeran sampai ke pelosok negeri.

Pertanyaannya adalah apakah program insentif kepada janda lansia tukang sapu dan optimalisasi APBD yang memihak kepada rakyat hanya berlaku di pemerintahan Rusli-Rio? Saya kira jawabannya pasti “tidak”. Sebab terlalu lama kita selalu disedorkan janji manis di setiap momentum demokrasi yang tak dikemas dengan pencitraan. Dan hampir endemik, memang dulu pernah ada namun tak bertahan lama sekitar 2,8 bulan saja, itupun pemimpinnya yang sama saat ini yaitu Rusli Sibua.

Saya kira ada upaya untuk mencari formula baru agar program-program pemerintahan hari ini terus berlanjut. Entah itu dengan proses kaderisasi pemimpin lewat partai politik atau melalui literasi pendidikan politik. Kalau dulu Plato membuka sebuah universitas yang bernama “Akademia” dengan harapan melahirkan pemikir dan pemimpin yang baik “The king of philosophy”. Maka hari ini pasti ada upaya pemerintah untuk melahirkan pemimpin yang ideal di masa depan melalui sebuah Universitas.

Pemerintahan yang baru ini berupaya menghindari yang namanya pencitraan tetapi menghadirkan fakta keberpihakan kepada rakyat di depan mata kita. Bahwa tak ada lagi punishment, tak ada lagi penahanan gaji dan sebagainya terhadap ASN. Tak ada lagi sembako yang membusuk di atas meja pedagang, tak ada lagi keluhan karena lapar atau sakit karena kehabisan obat atau nasi di meja makan. Esok atau beberapa hari lagi realisasi program lansia dan janda akan dilakukan. Saya yakin pasti begitu.

Jika literatur dan kebaikan menjadi kompas dalam kepemimpinan. Tentu tak ada lagi air mata penyesalan yang menetes, karena sejatinya rakyat tak pernah berharap kekayaan tetapi minimal ada cinta yang hendak diberikan oleh pemimpin. (*)