Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
_______
KEPULAUAN Indonesia merupakan rumah bagi ribuan pulau yang tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga budaya, ekologi, dan sejarah masyarakat lokal.
Namun dalam beberapa dekade terakhir, banyak pulau kecil dan terpencil menghadapi tekanan dari ekspansi industri ekstraktif, khususnya pertambangan.
Padahal, bagi masyarakat lokal, pulau bukanlah sekadar ruang ekonomi atau komoditas eksploitasi, melainkan ruang hidup — tempat tinggal, spiritualitas, sejarah, dan relasi ekologis yang terbangun secara turun-temurun (Bakker et al., 2019: 145).
Sebagai ruang hidup (lebensraum), pulau dalam perspektif sosiologi ekologi merujuk pada suatu wilayah yang menyediakan seluruh unsur penting bagi kehidupan masyarakat: air bersih, tanah subur, udara segar, dan lingkungan sosial yang sehat (Martinez-Alier, 2002: 35).
Pada pulau-pulau kecil seperti di Maluku Utara, pulau bukan hanya ruang geografis, melainkan ruang eksistensial. Di sana, masyarakat lokal menggantungkan hidupnya dari hasil laut, kebun, dan hutan.
Aktivitas sosial seperti ritual adat, pesta laut, hingga penghormatan pada laut, menunjukkan bahwa ruang pulau sarat dengan makna simbolik.
Bagi masyarakat yang mendiami pulau, terdapat semacam makna simbol masyarakat yang memandang gunung dan laut sebagai bagian dari tubuh kehidupan mereka. Karena itu, menjadi pantangan untuk tidak boleh dieksploitasi sembarangan.
Relasi masyarakat-pulau bukanlah relasi dominasi, melainkan koeksistensi dan perawatan timbal balik.
Karenanya, masuknya praktik ekstraktif, melalui pertambangan, khususnya nikel, telah menjadi momok menakutkan, sekaligus ancaman nyata terhadap ruang hidup masyarakat kepulauan.
Dalam laporan WALHI (2022), disebutkan bahwa lebih dari 55 persen wilayah pulau kecil di Indonesia telah dikapling oleh konsesi tambang dan izin industri. Hal ini tentu berimplikasi serius terhadap kerusakan lingkungan, pencemaran air laut, serta hilangnya ruang hidup masyarakat lokal. Tentu, hilangnya eksistensi mereka atas tanah yang telah ditempati dalam masa panjang.
Beberapa wilayah yang kaya tatkala masuknya industri tambang nikel, telah memantik hadirnya konflik agraria, kriminalisasi warga, dan degradasi ekologis (WALHI, 2022: 44).
Di Pulau Halmahera, masyarakat adat di Lelilef dan Sagea harus menghadapi pencemaran sungai akibat limbah tambang yang mengancam kebun dan air bersih mereka (Tefa, 2021: 67).
Tambang yang membawa narasi pembangunan dan kemajuan, ternyata acapkali mengabaikan dimensi keberlanjutan sosial dan ekologis.
Pulau lalu dikonstruksi sebagai “ruang kosong” yang bisa diisi oleh investasi dan infrastruktur ekstraktif, bukan sebagai ruang yang hidup dan dihuni.
Pertanyaan penting yang muncul adalah: Siapa yang berhak menentukan masa depan sebuah pulau?
Dalam kerangka keadilan ekologis, pulau seharusnya dipandang sebagai “commons”—ruang bersama yang dijaga oleh komunitas, bukan sebagai aset negara atau pasar (Ostrom, 1990: 88). Hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas ruang hidup harus diakui dan dilindungi, termasuk hak atas tanah ulayat, hak atas partisipasi, dan hak atas lingkungan yang sehat.
Undang-undang No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara normatif telah memberikan perlindungan terhadap pulau kecil dari industri ekstraktif, namun implementasinya lemah.
Kegagalan negara dalam melindungi ruang hidup justru membuka jalan bagi perusahaan/korporasi untuk mengeksploitasi pulau atas nama pembangunan nasional dan atas nama kesejahteraan.
Meski menghadapi tekanan besar, banyak komunitas pulau menolak menjadi korban.
Perlawanan masyarakat di pulau kecil, telah memperlihatkan, bahwa pulau juga adalah ruang politik dan ruang perlawanan.
Gerakan perlawanan datang dari kelompok perempuan, nelayan, dan kaum muda telah menjadi garda terdepan dalam mempertahankan ruang hidup mereka.
Gerakan ini menuntut pengakuan terhadap cara hidup alternatif — yang tidak berbasis pada ekstraksi, tetapi pada keberlanjutan, agroekologi, dan solidaritas ekosistem.
Mereka menolak menjadi statistik pembangunan dan menegaskan bahwa pulau adalah tempat untuk hidup, bukan untuk dikeruk.
Pulau bukanlah ruang kosong yang menunggu dieksploitasi, melainkan ruang hidup yang kaya akan makna ekologis, sosial, dan spiritual. Paradigma pembangunan yang melihat pulau sebagai ruang tambang harus digugat, karena merampas hak dasar masyarakat atas lingkungan yang sehat dan masa depan yang berkelanjutan.
Sudah waktunya negara, akademisi, dan masyarakat sipil menyusun ulang relasi dengan pulau — bukan sebagai objek kapital, tetapi sebagai subjek yang hidup, penuh nilai, dan harus dilindungi. Pulau adalah rumah, bukan tambang. (*)
Tinggalkan Balasan