Oleh: M. Rifai Karim
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
_______
MELAWAN dalam ketakutan adalah keadaan yang dirasakan oleh individu atau masyarakat ketika mereka berusaha melakukan perlawanan, tetapi terhalang oleh rasa takut terhadap konsekuensi yang mungkin terjadi. Situasi ini sering terjadi dalam sistem politik otoriter, di mana penguasa menggunakan ancaman, dan kekerasan untuk membungkam suara-suara kritis. Akibatnya, masyarakat hidup dalam tekanan psikologis yang tinggi, tetapi di sisi lain, ketakutan ini juga bisa menjadi pemicu perlawanan.
Di Jerman pada masa kekuasaan Adolf Hitler (1933-1945), rezim ini dikenal dengan kekuasaan yang otoriter. Banyak orang yang dianggap mengancam kekuasaan diintimidasi, represif dan terbunuh. Seperti yang terjadi pada dua mahasiswa Universitas Munich, yaitu Sophie dan Hans School, yang berakhir dengan kepala terpisah dari tubuh. Kenyaatan ini pun bukan hanya ditemukan di ada Jerman. Italia pun bernasib sama pada masa rezim otoriter Benito Mussolini (1922-1943). Seperti Giacomo Matteotti, seorang anggota parlemen sosialis, yang diculik dan dibunuh pada tahun 1924 setelah mengkritik fasisme Mussolini.
Kedua kekuasaan otoriter tersebut selalu menyebarkan ancaman terhadap kritik, menyebabkan ketakutan di berbagai pihak. Namun, tindakan berlebihan ini menuju kuburannya sendiri. Kekecewaan rakyat akhirnya memuncak. Walaupun dalam ketakutan, mereka akhirnya melakukan perlawanan. Ketika peperangan di Jerman masyarakat kala itu dengan senang hati banyak membantu pasukan asing dan menghentikan kerja sama dengan Nazi. Tindakan ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan Nazi. Dapat dibayangkan bagaimana kekecewaan rakyat sampai-sampai membantu kolonial.
Demikian dengan Italia, dalam ketakutan rakyat memutuskan berbondong-bondong memainkan peran besar dalam penggulingan Mussolini sebagai bentuk mengespresikan kekecewaan. Pada tahun 1943, di Italia terjadi pemogokan kerja oleh buruh di Milan dan Turin, dan memberikan dukungan terhadap raja Victor Emanuel lll untuk menggulingkan Mussolini, hingga berakhir pada eksekusi Mussolini yang dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Konteks ini, seperti kata Karl Marx bahwa kapitalisme sedang menggali liang lahatnya. Berlaku bagi sistem otoritarianisme.
Sistem politik otoriter tersebut menggiring kondisi psikologis berada pada puncak ketakutan, tetapi bagaikan gunung yang tak mampu lagi menahan panas. Sebaliknya, dengan ketakutan itu yang akhirnya melakukan perlawanan. Senada dengan Jean Jacques Rousseau yang menegaskan bahwa ketakutan terhadap penindasan mendorong manusia untuk melawan dan menuntut kebebasan serta kesetaraan dalam masyarakat.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, melawan dalam ketakutan seringkali ditemukan. Realitas yang berkelanjutan ini pada dasarnya masih melekat otoritarian dalam sistem demokrasi. Alexis de Tocqueville (1805-1859), dalam bukunya Democracy in America, menegaskan bahwa demokrasi bisa berubah menjadi tirani mayoritas. Ungkapan ini mengandung kesan seorang pemimpin yang berwatak otoliter menggunakan kekuataan mayoritas secara hegemonik dalam konteks sistem demokrasi untuk membungkam opisisi.
Konsep ini relevan dengan Rusia yang di pimpin oleh Vladimir Putin dewasa ini, di mana pemerintahan Rusia mengontrol peranan media untuk mempengaruhi opini publik dalam mendukung putin dan kebijakan pemerintahan. Hal ini menyebabkan oposisi minoritas berada pada keadaan melawan dalam ketakutan, apalagi dengan peristiwa yang terjadi pada salah satu tokoh oposisi seperti Alexei Navalny yang dipenjara dan terbunuh. Ketakutan-ketakutan ini, oleh Hannah Arendt, disebut sebagai alat totaliterianisme.
Praktik yang serupa terjadi di Turki, meskipun menganut sistem demokrasi, namun tetap mencerminkan otoritarian. Banyak kritik yang dilakukan masyarakat terhadap kekuasaan yang di bungkam. Seperti yang dialami oleh seorang jurnalis, Can Dundar, yang mengungkap dugaan pengiriman senjata oleh badan intelijen Turki kepada kelompok pemberontak di Suriah. Akibat tindakan itu, ia pun ditangkap pada tahun 2015 dengan tuduhan mengungkap rahasia negara. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan oleh kalangan masyarakat dalam bersuara. Namun, walaupun ada ancaman, aktivis HAM Osman Kavala berdiri dan melawan dengan mendukung berbagai inisiatif demokrasi, seni, dan hak asasi manusia di Turki. Pada tahun 2017 Osman Kavala ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Melawan dalam ketakutan akan selalu menjadi realitas politik, terutama ketika otoritarianisme masih melekat dalam suatu negara, bahkan dalam sistem demokrasi sekalipun. Sejarah menunjukkan bahwa ketakutan yang diciptakan oleh penguasa otoriter tidak selalu membuat masyarakat tunduk, tetapi justru menjadi pemicu perlawanan. Dalam berbagai rezim, kekecewaan rakyat akhirnya melakukan perlawanan.
Namun, muncul pertanyaan: apakah perubahan dapat terjadi jika kita memilih diam? Seperti yang dikatakan Niccolo Machiavelli, perubahan hanya terjadi ketika ada tindakan nyata dari kelompok yang ingin menggulingkan status quo. Oleh karena itu, keberanian untuk melawan, meskipun dalam ketakutan, tetap menjadi faktor utama dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan di muka bumi. (*)
Tinggalkan Balasan