Saya masih ingat saat menonton sebuah potongan video sebuah diskusi lepas. Margarito dengan berani membongkar bobrok lembaga kepolisian di negara ini dalam kaitan dengan kasus Sambo beberapa waktu lalu hingga membandingkannya dengan institusi TNI yang relatif “merdeka” dari intervensi. Seorang netizen hingga berkomentar mewanti-wanti untuk melindungi sosok Margarito dari kemungkinan tindakan “menghabisinya” secara fisik usai diskusi itu.

Di channel Helmi Yahya tadi, saya dan mungkin banyak orang yang menontonnya mendapatkan jawaban sekaligus menyelami dan memahaminya betapa Margarito mengikrarkan ke area publik secara terbuka bahwa dirinya tak bisa menerima, melihat orang susah diperlakukan sewenang-wenang tanpa alasan hukum yang jelas. Sudah susah dibuat tambah susah. Dia tak bisa menerimanya. Berapapun orang, akan dilawannya meski sendirian, dia menghadapinya. Hingga statement-nya bahwa mati hari ini dan besok, sama saja. Bikin merinding.

Bagi Margarito, jika dibilang prinsip mungkin terlalu ideal, paling tidak di dalam hidup ini, orang harus punya karakter.Saya setuju dengan pandangan ini. Karakter adalah “made in“, yang membedakannya dengan orang lain. Ada orientasi nilai tertentu yang dianut dan jadi pegangan, minimal semampu kita. Tak bisa hidup tanpa ini, tak berkarakter, mengikuti kemana saja bertiupnya “arah angin”. Bahwa banyak orang yang di masa lalu, jatuh-bangun membiayai hidup hingga pendidikannya, benar. Tetapi tak banyak yang bisa “mengkonversinya” menjadi paralel dengan karakter hingga jadi orientasi nilai yang kuat dipegangnya di masa kini.

Saya terkesan dan mengingat kata-kata Nelson Mandela di sebuah quotes: Sesekali bersikaplah tegas agar orang lain tidak bersikap seenaknya. Sesekali bersikaplah keras orang lain tidak semena-mena. Jadi orang jangan terlalu banyak “segan”nya, agar orang lain tidak bersikap “tega” dengan kita. Di quotes yang lain, ada kata-kata bahwa orang yang kasar dalam berbicara lebih jujur, ketimbang orang yang halus dalam tutur bahasa tapi bermuka dua.

Kemarin, di sebuah postingan di akun Facebook, saya menulis kata-kata ini: Sampaikan dengan cara anda, keyakinan tentang baik-buruknya sesuatu yang anda temui dalam kehidupan sosial. Tak usahlah terlalu berpikir bahwa nanti ada pihak yang merasa tersinggung, persetan dengan itu semua. Orang cenderung menyalahkan kita, ketika merasa dirugikan karena tersinggung. Tetapi juga tak pernah mengucap syukur saat merasa beruntung karena disanjung. Menegakkan prinsip yang dipandang benar untuk kemaslahatan banyak orang itu, jauh lebih penting dan mulia dibanding memikirkan ketersinggungan satu-dua orang karena kebodohannya.

Ketika mengasuh mata pelajaran pendidikan moral di SMA dulu, saya merasa begitu penting menanamkan kesadaran dan nilai-nilai kebenaran, keadilan, keikhlasan dan lain-lain pada para siswa. Saya menyadari, makin kuat tantangan hidup mereka di masa depan makin tinggi penghayatan nilai kebaikan diri dan karakter diri yang kuat. Akan makin lengkap dan memberi fondasi hidup yang kuat bila telah terlembaga juga dalam pendidikan keluarga, sebagaimana mana pada sosok Margarito tadi: fondasi latar keluarga dan karakter yang kuat di lingkungan keluarga, menekuni disiplin ilmu hukum, yang makin mempertegas pemihakan tentang keadilan dan kebenaran, dilengkapi bersua dan bergelut dengan sosok-sosok hebat dan berkarakter seperti yang disebutnya, Rusdi Syukur hingga Baharuddin Lopa dan lain-lain. Sosok Baharuddin Lopa misalnya, benar-benar fenomenal. Banyak orang tahu hingga mendengar cerita tentangnya soal bagaimana menegalkan prinsip-prinsip hidup.

Beberapa waktu lalu, ketika menjadi ahli untuk salah satu pasangan calon presiden di sidang sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi, Margarito sedikit menyarankan hingga “menasihati” mahkamah, untuk sebuah pilihan dan sikap hukum. Diakuinya bahwa motivasinya melengkapi agar mahkamah ini menjadi top. Kata “top” ini kemudian dikutip salah satu hakimnya di akhir ucapan terima kasihnya buat sosok Margarito.

Karakter hingga prinsip hidup, memang “kadang bergoyang”. Tetapi bagi saya, Margarito top, setidaknya hingga saat ini. Saya mendoakannya agar tetap istikamah di jalan kebenaran. Wallahu’alam. (*)