Oleh: Zein Narwawan

Presiden Mahasiswa Unamin Sorong

_______

BEBERAPA bulan terakhir publik diwarnai dengan pendapat pro kontra atas putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai kurang arif dan bijaksana dalam menyajikan rasa keadilan melalui putusannya. Pasalnya, publik berpendapat bahwa PU Nomor 90 tentang capres dan cawapres secarah legal telah membuka portal hukum untuk meloloskan kandidat tertentu dalam kontestasi politik 2024.

Hal demikian ditentang habis-habisan sebab berdasarkan kaca mata hukum, MK telah keliru dalam memahami perannya yang telah ditentukan oleh Undang-undang Dasar Pasal 24 C ayat (1). Sehingga hal demikian seharusnya menjadi open legal policy-nya pembentuk undang-undang.

Klausul pasal yang diajukan pemohon seharusnya dikembalikan oleh MK untuk ditinjau kembali melalui mekanisme legislatif review. Inkonsistensi MK telah menimbulkan pertanyaan besar apakah MK masih layak disebut sebagai The Guardian of Constitution ataukah tidak?

Sikap Mahkamah Konstitusi kita akhir-akhir ini mengundang banyak pengunjung hukum untuk menghujat secara akademis lembaga yudikatif kita yang satu ini. Sebagaimana kata salah satu ahli hukum tata negara Margarito Kamis, sekarang ini semua hal bisa diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi, yang tidak hanya manusia. Suatu cibiran keras untuk MK yang menjelma menjadi superbody dalam negara.

Urgensi batas usia capres cawapres benar-benar mengikis habis keberanian MK untuk jujur bersuara, tentang yang mana hak dan mana yang bathil. Sehingga muncul humor “dari ayah oleh paman untuk Gibran” dibenarkan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dengan berani mengabulkan permohonan putusan Nomor 90.

Bukankah hakim diikat oleh asas hukum “Nemo Judex In Causa Sua” yang berarti perkara apapun jika sang hakim mempunyai hubungan keluarga atau darah dengan orang yang diputus perkaranya maka tentu akan mengganggu efektivitas putusan hukum. Begitu juga dengan dampak sosiologis terhadap Indonesia emas 2045 yang dicita-citakan sebagai suatu reforma atas ketimpangan sosial periode ini.