Tandaseru — Dentang martil beradu dengan bebatuan memecah sunyi siang di perbatasan Kelurahan Bula dan Tobololo, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Maluku Utara. Di sepanjang kali mati, juga di tepi pantai, duduk belasan perempuan. Usai mereka rata-rata tak jauh dari separuh abad.

Suara dentang itu berasal dari tangan perempuan-perempuan perkasa ini. Menambang batu usai menunaikan tugas rumah tangga sudah jadi pekerjaan umum ibu-ibu di Bula. Pekerjaan tambahan ini dilakukan dengan sukarela demi membantu pemasukan keluarga.

Askia (60 tahun), adalah salah satu yang hidupnya bergantung dari menambang batu. Pasalnya, sang suami sudah lama meninggal dunia.

Perempuan asli Marikurubu, Ternate Tengah itu punya empat anak. Dua diantaranya sudah bekerja di instansi pemerintahan. Sedangkan dua lainnya putus sekolah setelah ayah mereka menghadap Sang Khalik.

Askia baru setahun menambang batu. Sebelumnya, ia berjualan di pasar. Namun setelah mata kirinya buta, Askia memilih memecah batu di dekat rumah saja.

“Karena sering ilang jalan di pasar. Mata tidak bisa lihat kayak dulu lagi,” tuturnya pada tandaseru.com, Senin (10/8).

Setiap pagi pukul 8, Askia sudah menuju lokasi kali mati. Berbekal ember bekas cat di tangannya, ia mengumpulkan batu di sepanjang barangka hingga pantai. Begitu penuh, Askia duduk dan mulai memecah batu bersama ibu-ibu lainnya.

“Anak yang bongso (bungsu, red) bantu-bantu saya toki (memecah, red) batu,” ucapnya.

Para penambang batu hanya beristirahat saat makan siang. Setelah itu pekerjaan dilanjutkan hingga pukul 6 sore.

“Tiap hari begitu,” kata Askia.

Batu yang diinginkan pembeli adalah yang berukuran kecil-kecil. Per karung ukuran 25 kilogram biasanya dihargai Rp 15 sampai Rp 20 ribu. Jika dibeli dengan satu muatan mobil L300 harganya Rp 700 ribu, sementara untuk truk dam dijual dengan harga Rp 1,2 juta.

Askia bilang, untuk memenuhi satu pikap L300 dengan batu yang sudah dipecah butuh waktu selama 6 bulan. Satu truk dam butuh waktu setahun sampai bisa penuh.

Dalam sehari, Askia bisa 5 sampai 10 kali bolak-balik dengan ember catnya untuk mengumpulkan batu. Namun jika kaki kanannya mulai sakit, ia terpaksa mengurangi beban kerjanya.

“Kalau kaki tara (tidak, red) sake bisa 10 kali bolak-balik. Hanya saja kaki kanan so sake jadi semampu saja,” akunya.

Meski anak-anaknya kini sudah bisa menghidupi diri masing-masing, Askia memilih tetap setia memecah batu. Ia tak ingin jadi beban bagi mereka.

“Saya pe anak tara suruh (kerja), cuma tong (kami red) orang tua tara mau kase susah anak-anak. Selama bisa kerja ya kerja saja dulu,” tandasnya.