Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

________

ADA sebuah ungkapan ironis dan menggelikan, jangan beli makanan di tempat wisata karena mahal. Bawa saja dari rumah.
*******
Di momentum Sail Tidore lalu, ada kejadian miris yang memicu kemarahan pimpinan daerah ini. Ada informasi hingga klaim pihak tamu terhadap harga menu di pusat kuliner Tugulufa. Meski terkadang luput dari berita media karena ada faktor lain yang jadi pertimbangan pengunjung yang merasa dirugikan, bahkan terkesan “dibodohi”. Para pelaku usaha ini dipanggil untuk dimintai keterangan hingga berakhir di ranah hukum, miris.

Kebetulan saat itu, saya merekomendasikan tempat santap siang buat karib, seorang asisten deputi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan rombongannya ini. Kami bersantap siang di sana. Jadi sedikitnya, saya menangkap kesan itu.

Di mana-mana, mungkin sering kita temui fakta harga menu makanan di tempat wisata yang cenderung lebih mahal dibanding tempat biasa. Banyak alasan dan variabelnya. Biaya produksi dan transportasi yang jauh, yang umum jadi alasan, yang kita temui. Tetapi juga, ada variabel psikologi pengunjung yang coba “dimanfaatkan”, orang yang datang ke tempat wisata, pasti lebih banyak mereka yang punya persediaan biaya yang cukup atau sebut saja yang berkelebihan. Lagipula, orang cenderung tak terlalu mempermasalahkan harga menu di sana karena hatinya sedang “bahagia”. Variabel gengsi, terlihat “lebih mahal” biayanya ketimbang harga menu.

Ini berbeda konteksnya jika kita bicara tentang harga menu di tempat-tempat khusus lain, hotel berbintang misalnya. Ada variabel tertentu yang dipersepsikan dari tamu atau pengunjung. Dan dalam banyak hal, pusat kuliner Tugulufa tak berada pada konteks itu. Dia adalah kawasan kuliner yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Memang, di pusat kuliner Tugulufa, Tidore, terlihat tak selalu ramai di hari biasa. Saya pernah iseng bertanya pada beberapa pemilik kedai tentang nominal pendapatannya per hari. Miris juga mendengar informasi dari mereka. Banyak variabel biaya yang tak bisa dikonversikan dengan pendapatan mereka dari menu yang terjual. Banyak alasan yang bisa diduga jadi sebabnya. Mulai dari “daya beli” calon pengunjung hingga budaya masyarakat kita yang belum familiar dengan kebiasaan makan bersama keluarga di luar rumah, setiap waktu.