Oleh: Fendi Yainahu

_______

PADA zaman dahulu, jauh sebelum cahaya kota menyentuh tanah timur Al Mulk, hiduplah sebuah suku yang dikenal dengan nama Suku Kadai. Mereka adalah penjaga hutan, penenun langit, dan penguasa laut yang pertama kali menapakkan kaki di Pulau Sula, tepatnya di sebuah daerah yang sekarang dikenal sebagai Fat Iba.

Suku Kadai hidup selaras dengan alam. Mereka menghormati pohon, laut, dan bintang-bintang sebagai tanda petunjuk kehidupan. Di balik hutan lebat dan lembah sunyi, mereka membangun rumah adat, menyanyikan syair nenek moyang, dan menjaga warisan budaya dengan penuh cinta.

Namun suatu hari, datanglah perahu layar dari arah barat, membawa orang-orang asing dengan kitab di tangan dan salam di bibir. Mereka membawa pesan damai dan cahaya keimanan yang disebut Islam.

Para tetua Suku Kadai berkumpul di bawah pohon tua. Sang Kepala Suku seorang pria bijak yang berjanggut putih dan bertongkat kayu warisan leluhur, memandang para pendatang dengan tenang. Ia tahu, zaman telah bergeser. Angin sejarah berembus membawa perubahan yang tak dapat dihindari.

Demi menjaga keharmonisan dan menghindari pertumpahan darah, Kepala Suku Kadai mengambil keputusan yang berat: mereka akan meninggalkan tanah Fat Iba. Namun sebelum pergi, mereka meninggalkan seorang putri suku bernama Maria, gadis muda yang memiliki hati lembut dan pikiran terbuka.

Maria memilih untuk tetap tinggal. Ia mendengarkan ajaran para ulama dan pada suatu malam, di bawah cahaya bulan dan saksi pepohonan tua, Maria mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia memeluk Islam dengan penuh keikhlasan.

Sebelum suku itu benar-benar pergi, sang kepala suku berdiri di atas batu besar dan mengucapkan sebuah janji yang menggema di tanah Fat Iba:

Kami, anak-anak tanah ini rela meninggalkan tempat ini demi berdirinya kalimat tauhid. Tapi catatlah, suatu hari nanti ketika langit telah memberi izin dan tanah ini telah matang menerima, kami akan datang kembali, Bukan sebagai tamu tapi sebagai raja. Kami akan diakui bukan hanya sebagai penghuni tapi sebagai pemilik negeri ini,”

Setelah itu, Suku Kadai lenyap dari pandangan seperti kabut pagi yang tersapu angin.

Namun cerita mereka tidak mati. Legenda itu hidup dalam bisikan pepohonan Fat Iba, dalam alunan ombak di tepi pantai, dan dalam darah yang mengalir pada keturunan Maria—yang kini menjadi bagian dari masyarakat Islam di Sula.

Dan hingga kini, di setiap upacara adat, masih terdengar suara lembut dari para tetua:

Ingatlah janji Kadai, sebab mereka akan kembali—sebagai pemilik, bukan penumpang,”

-Cerita fiksi dari desa tua fahahu-