Oleh: Fahmi Djaguna

Dekan FKIP Universitas Pasifik Pulau Morotai

________

DALAM peradaban demokrasi, peran politisi dan akademisi sering kali dipahami berada pada dua kutub berbeda; yang satu berkutat pada janji, yang lain pada kritik. Namun, di Pulau Morotai hari ini, telah terjadi pembalikan makna yang berbahaya di mana suara kritis akademisi dituduh culas, tendensius, bahkan dituding bersembunyi di balik topeng “ilmiah”. Pernyataan seorang politisi lokal yang mengutip narasi “Lempar Batu, Sembunyi Tangan”, seolah ingin menutupi kegagalannya sendiri, adalah sebuah ironi sekaligus tragedi kecil dalam kehidupan demokrasi kita.

Jika kita ingin menelusuri arti sejati dari kata “culas”, maka tidaklah sulit menunjuknya. Culas bukanlah kritik ilmiah, bukan pula pendapat yang berbeda arah dari kekuasaan. Culas adalah janji manis yang diucapkan saat kampanye, namun menguap begitu jabatan diraih. Culas adalah ketika politisi berdiri di atas panggung, mengangkat tangan dan bersumpah akan memperjuangkan rakyat, layaknya seorang penghotbah, tapi nyatanya hanya sibuk pelesiran atas nama kunjungan kerja, tanpa satu pun peraturan daerah inisiatif yang lahir dari tangan mereka. Culas adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat.

Meminjam bahasanya Nikita Khrushchev, tokoh Rusia (1894-1971) yang dikenal tajam, pernah berkata: “Politisi itu semuanya sama. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana.” Sebuah sindiran yang sangat relevan terhadap fenomena politik hari ini. Pulau Morotai, yang jauh di utara, ikut menjadi panggung dari lakon semacam itu. Hampir setahun politisi duduk nyaman di kursi parlemen, namun suara konstituen, aspirasi publik, bahkan dinamika desa-desa yang tengah berguncang, justru dijawab dengan saling tuding dan penyempitan makna suara akademik.

Ketika ada akademisi bersuara tentang memangkas anggaran perjalanan dinas DPRD karena boros, dianggap biasa saja, dan ketika ada akademisi bersuara terhadap 11 hingga 23 kepala desa yang dinonaktifkan, mereka tak lain sedang menjalankan peran luhur untuk mencerdaskan publik. Mereka tidak memvonis, tapi menawarkan perspektif. Mereka tidak mengintervensi hukum, tapi memberikan jembatan edukasi kepada masyarakat agar memahami proses.

Akademisi tidak punya kuasa memecat atau mengembalikan kepala desa. Tapi mereka punya nalar, punya pengetahuan, dan yang terpenting punya tanggung jawab moral.
Tuduhan bahwa akademisi ingin “cari muka” atau punya agenda tersembunyi adalah bentuk kekerdilan berpikir. Justru sebaliknya, kritik akademisi adalah upaya menjaga nalar publik agar tidak hanyut dalam arus pembenaran kekuasaan. Di saat politisi sibuk menjual kata-kata, akademisi sibuk menjelaskan makna. Di saat parlemen sepi produk hukum, dunia kampus tetap hidup dengan diskusi dan refleksi. Siapa sesungguhnya yang lebih culas?

Charles de Gaulle seorang negarawan dari Perancis (1890-1970) pernah menyindir dengan tajam: “Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.” Dalam sinisme itu tersembunyi kebenaran pahit. Politisi sering membangun narasi untuk dipercaya, bukan karena itu benar, tetapi karena itu laku dijual. Maka ketika akademisi memeriksa ulang narasi itu dengan analisis, argumen, dan data mereka dianggap mengganggu pasar janji.

Padahal, tugas akademisi justru membangun kesadaran politik publik. Mereka tidak hanya duduk di menara gading. Mereka hadir di ruang-ruang warga, berdialog, memberikan pemahaman. Mereka tidak bertarung untuk jabatan, tapi untuk kebenaran. Jika suara mereka dibungkam, atau dimaknai sebagai ancaman, maka kita bukan sedang membangun demokrasi tapi mempercepat degenerasi akal sehat bangsa.

Mari kita kembalikan makna. Culas bukanlah kritik, tapi kebohongan yang disengaja. Culas bukanlah nalar yang mempertanyakan, tapi kemunafikan yang mengiyakan demi kuasa. Culas adalah janji yang tak ditepati, bukan suara akademisi yang membela nalar. Jika pun dinamika ini harus berlangsung panjang, biarlah ia tetap dalam rel rasional dan moral. Jangan dikebiri dengan tuduhan murahan. Jangan dipelintir menjadi pengkhianatan.

Dalam dunia yang sedang haus akan integritas, suara akademisi justru menjadi oase. Mereka tidak sempurna, namun mereka memiliki satu hal yang sering absen dari lidah politisi; keberanian untuk berkata benar, meski tak populer. Maka bila politisi ingin dihormati, tepati janji. Bila tidak bisa, belajarlah dulu dari dunia akademisi tentang apa itu tanggung jawab publik, dan apa itu etik dalam berpolitik.

Dan biarlah publik yang menilai; siapa sesungguhnya yang culas yang berpikir kritis, atau yang gemar berjanji tanpa bukti? (*)