Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_______
“Riya tanpa sadar, menghindari untuk mengatakan kebenaran dengan alasan takut membuat orang lain tersinggung. Kita lebih memilih dinilai sebagai orang baik, yang pandai menjaga perasaan orang, dengan tidak menunjukan keburukannya. Sama artinya, kita turut memelihara keburukan. Sama artinya juga, kita memilih untung sendiri, dengan membiarkan orang lain tetap merugi”
SEMALAM, di sebuah hajatan keluarga, saya sempat mengobrol lewat telepon dengan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Utara, Kasman Hi. Ahmad. Ada hal yang dibicarakan. Di sela percakapan itu, ada penilaian yang bikin saya agak kaget. Saya dianggap lebih menonjol ciri cendekiawannya dibanding ASN. Ya, namanya juga penilaian, saya tak bisa mengomentarinya.
Lama kami tak bersua. Karena itu, saya menduga penilaian ini dikesankan dari seringnya beliau menyimak tema tulisan-tulisan pendek saya, yang sering nongol di sebuah WAG kami.
Yang menarik, seolah mengesankan ada garis demarkasi yang tegas, apa itu ciri ASN dan apa pula ciri cendekiawan. Yang pasti, saya bukan anggota ormas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Maluku Utara. Sang wakil bupati ini memang sejak lama mengesankan ciri kecendekiawanan yang kental. Beliau Ketua ICMI orwil Maluku Utara saat ini.
Memang, dalam setiap tulisan, saya memilih mengangkat sisi aktual dari keseharian di mana saja. Sumbernya bisa macam-macam, di berita media, obrolan di WAG, hingga di kedai-kedai kopi. Saya akan mengatakan itu tak patut, pada sesuatu tindakan atau objek, yang dipandang tak patut. Juga mengapresiasi dan memberi bobot tertentu pada sesuatu hal, atau kondisi yang dianggap hebat. Tentu dari perspektif saya sebagai penulis. Selebihnya, pembaca punya prerogatif menilainya. Hanya itu.
Mungkin sang wakil bupati yang punya latar aktivis ini, merasa ada semacam demarkasi nilai, mindset, hingga sikap dan prilaku tertentu dari komunitas ASN di lembaga pemerintahan daerah, dibanding di lingkungan yang lebih “merdeka”, di rentang beberapa bulan ini menjadi wakil kepala daerah, saya tak tahu. Yang pasti, beliau pernah menjadi pendiri sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
Sekembali di hajatan tadi, saya mengobrol dengan karib Sofyan Kamis di beranda kediamannya. Temanya macam-macam. Tetapi mengerucut pada kesimpulan sementara, ada semacam “konflik semantik”, dalam perilaku tertentu memaknai nilai atau pesan, dalam masyarakat kita.
Saya menulis pesan ini, “kesimpulan sementara” obrolan tadi, di beberapa WAG: “Riya Tanpa Sadar“. Menghindari untuk mengatakan kebenaran dengan alasan takut membuat orang lain tersinggung. Kita lebih memilih “dinilai sebagai orang baik”, yang pandai menjaga perasaan orang lain, dengan tidak menunjukan keburukannya. Sama artinya, kita turut memelihara keburukannya. Sama artinya juga, kita memilih untung sendiri, dengan membiarkan orang lain tetap merugi. #JumatMubarak
Karib sekaligus “senior” saya di KAHMI, Naser Lamahamo menanggapinya, kata Imam Syai’i, saya setiap kali berdebat dgn orang pintar selalu menang, tetapi saat berdebat dengan orang bodoh selalu kalah, jadi menegur orang pintar memperbaiki kesalahan. Tetapi menegur orang bodoh menciptakan musuh.
Di WAG sebelah lagi, dikomentari karib Ajijuddin Amin. Dia di Ternate. Sedikit kocak tapi kuat pesannya. Dia alumni IAIN Ternate, dan seorang dai, banyak kerusakan terjadi bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi banyaknya orang baik (pintar) yang memilih untuk berada di zona nyaman. Setiap kebaikan yang kita sampaikan, akan muncul 2 reaksi : orang bodoh akan tersinggung dan menganggap kita sombong, dan orang pandai akan merasa berterima kasih atas kebaikan yang disampaikan. Meyakinkan sebuah kebenaran kepada 100 orang pandai dengan 1 bukti itu lebih mudah daripada meyakinkan 1 orang bodoh dengan 100 bukti. Om Daus di Ternate dengan mengutip sebuah hadits nabi, bilang begini : Diam terhadap sebuah kejahatan sama dengan bekerja sama. Dalam perspektif sufistik, ketika seseorang yang mengaku beriman dan cerdas menemui sebuah kejahatan yang dilakukan oleh orang tertentu, itu artinya Allah sedang menguji bagaimana respon orang cerdas tersebut terhadap sebuah kejahatan. Jadi sebetulnya kejahatan juga merupakan soal-soal ujian bagi mereka yang mengaku dirinya faham. Dalam Quran Tuhan berkata : “Jangan kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal kalian belum diuji”. Ada sebuah prinsip yang dipegang oleh para penyuluh agama (para dai), sampaikan apa yang harus mereka dengar, bukan apa yang mereka ingin dengar. Kita ini lebih senang merasa malu dari pada menyampaikan kebaikan yang menurut pak Anwar Husen, bahwa dengan begitu artinya kita menjaga perasaan orang lain. Itu sama dengan di Ternate ada seorang tua, modim di sebuah masjid, yang sering mengambil buah pala tetangganya di malam hari, tetapi karena orang sekitar berpikir menjaga perasaannya, tak bisa tegur, meski menahan perasaan buruk. Suatu saat, sang modim ini kebagian jadwal mengiringi khatib ke mimbar untuk berkhotbah. Saat beliau meraih tongkat (lazimnya masjid di Maluku Utara), ada salah satu jamaah berujar dengan bahasa lokal, yang kurang lebih berarti, raih tongkat itu dan habiskan sisa palanya. (maksudnya, tongkat sama fungsinya dengan galah, alat bantu memetik buah pala).
Saya menyambung komentar karib ini sedikit goyon juga, kita seringkali keliru menempatkan konteks tenggang rasa, korban semantik, maksud saya. Tenggang rasa dimaknai sebagai menyenangkan, menjaga perasaan orang lain secara buta-buta. Orang yang menolong kita, kita balas dengan menolongnya. Itu konteks tenggang rasa yang setara dan logis. Satu level di atasnya, mungkin “kurang perasa”. Istilah lain, tidak peka, merasa biasa-biasa saja terhadap kebaikan orang pada kita, dan tak perlu di membalasnya meski cukup mampu untuk itu. Level di atasnya lagi “mati rasa”, membalas kebaikan dengan keburukan.
“Menjaga rasa” itu, di masyarakat kita sering diistilahkan dengan “menjaga sareat”. Itu tak salah. Yang keliru, kita sering terjebak dalam memilah konteksnya, dan mengaburkan makna, bahkan hingga membenarkan sesuatu yang sesungguhnya keliru.
Di sebuah potongan video pendek, di sebuah kajian pengetahuan hakikat, seorang ustaz berujar kurang lebih, bahwa ketika perasaan kita “tersandera” dengan penilaian orang pada hal-hal tertentu (yang dicontohkannya), sesungguhnya kita telah terjebak riya, berharap ada penilaian baik dari setiap orang.
Saya percaya, yang dimengerti oleh saya dan para karib tadi, mungkin juga sama, yang dipahami sang wakil bupati yang cendekia tadi. Yang pasti, mengobrol dengan orang tepat, sering menginspirasi. Dan keagungan di hari Jumat, mungkin saja menandai berkah obrolan kami semalam. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan