Oleh: Fahmi Djaguna

Sekretaris Umum ICMI Orda Morotai

________

DALAM ruang demokrasi lokal yang idealnya menjadi ladang subur bagi pembelaan terhadap kepentingan rakyat, kita justru disuguhi sandiwara politik yang membingungkan nurani publik. Konferensi pers pada hari Selasa, tanggal 10 Juni 2025 yang disampakaikan Erwin Sutanto, Sherly Djaena dan Rifai Malase bertempat di ruang rapat Wakil Ketua DPRD Morotai oleh Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Morotai dalam rangka refleksi 100 hari kerja pemerintahan Rusli-Rio sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pulau Morotai, layak dicermati bukan karena ketajaman kritiknya, tetapi karena keganjilan sikap politik yang ditampilkan.

PSI, yang secara nasional mengklaim diri sebagai partai anak muda, bersih, antikorupsi, dan progresif, justru menunjukkan wajah berbeda di level lokal. Dalam konferensi pers tersebut, Fraksi PSI Morotai secara terbuka menyoroti langkah pemberhentian sementara terhadap 11 Kepala Desa oleh Pemda Pulau Morotai. Menurut PSI, keputusan tersebut tidak disertai penjelasan terbuka mengenai dasar hukum dan prosedur evaluasi, dan mereka pun mendesak agar kebijakan itu ditinjau ulang. Padahal, publik Pulau Morotai sudah mengetahui bahwa pemberhentian itu merupakan tindak lanjut dari temuan Inspektorat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Morotai, yang mendapati adanya dugaan penyalahgunaan dana desa oleh para kepala desa tersebut.

Di sinilah wajah ganda PSI Morotai mulai tampak, mengutuk korupsi di mulut, namun diibaratkan merawatnya dalam dunia nyata. Di satu sisi mereka mengusung jargon antikorupsi, namun di sisi lain mempertanyakan tindakan pemerintah daerah yang justru ingin menegakkan akuntabilitas. Alih-alih memberi dukungan pada langkah pembersihan birokrasi desa dari praktik korupsi, mereka justru meragukan proses audit dan mendesak evaluasi ulang atas keputusan tersebut.
Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 82 Tahun 2015, kepala desa yang diduga melakukan pelanggaran berat, termasuk korupsi, dapat diberhentikan sementara oleh bupati.

Pemberhentian ini bukan bentuk vonis, melainkan bagian dari mekanisme hukum agar proses penanganan dugaan pelanggaran dapat berlangsung tanpa intervensi atau konflik kepentingan. Jika temuan Inspektorat dan DPMD menunjukkan adanya kerugian keuangan negara di tingkat desa, maka langkah bupati adalah langkah yang tepat dan sah secara hukum.

Sikap PSI Morotai yang mempertanyakan proses audit seolah ingin mengatakan bahwa lembaga pengawas seperti Inspektorat tidak dapat dipercaya. Ini adalah narasi yang berbahaya. Bukankah seharusnya wakil rakyat justru mendorong transparansi dan memperkuat fungsi pengawasan, bukan melemahkannya dengan insinuasi yang tidak berdasar? Tentu, kritik terhadap proses audit bisa dilakukan, tapi mestinya dengan data yang jelas, bukan dengan narasi politis yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Yang lebih mengkhawatirkan, PSI seolah melupakan bahwa korupsi adalah musuh bersama. Ketika partai politik mulai mengambil posisi ambigu terhadap tindakan tegas atas dugaan korupsi, maka publik berhak bertanya; di sisi manakah mereka berdiri? Apakah benar-benar bersama rakyat yang menjerit karena dana desa disalahgunakan? Atau justru berdiri di belakang mereka yang menyalahgunakan kepercayaan rakyat?

Tindakan PSI Morotai ini juga mengaburkan esensi reformasi birokrasi desa yang sedang digalakkan di banyak daerah. Dana desa bukanlah alat untuk memperkaya kepala desa, melainkan instrumen pemerataan pembangunan. Ketika kepala desa terindikasi korupsi, maka wajar jika tindakan administratif berupa pemberhentian sementara dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak menutup mata terhadap penyimpangan.

PSI Morotai seharusnya menjadi bagian dari gerakan moral untuk menata tata kelola pemerintahan desa yang bersih, bukan justru menjadi penghalang dengan narasi populis yang membela pelanggar etika dan hukum. Ketegasan Pemda dalam menindak pelanggaran harus dilihat sebagai komitmen terhadap tata kelola yang baik, bukan sekadar manuver politik. Fraksi PSI seharusnya mengawal proses ini dengan pengawasan yang objektif dan berbasis data, bukan dengan asumsi atau sentimen politik.
Dan ironisnya lagi, ini bukan sekadar kegagalan membaca situasi, tapi mencerminkan krisis etika dalam praktik politik lokal. Ketika integritas dikalahkan oleh kalkulasi politik, entah demi popularitas sesaat atau manuver elektoral lima tahun ke depan maka yang dikorbankan adalah kepercayaan publik dan masa depan demokrasi lokal.

Akhirnya, publik Morotai patut menuntut konsistensi dari para wakil rakyat. Jika PSI Morotai ingin tetap dipercaya, maka langkah pertama adalah bersikap jujur terhadap prinsip yang mereka kampanyekan sendiri. Menjadi oposisi bukan berarti mengaburkan kebenaran. Jika PSI sungguh-sungguh berpihak pada rakyat, maka seharusnya mereka menjadi garda depan dalam membela integritas, bukan malah memberi ruang bagi dugaan korupsi untuk terus tumbuh di desa-desa.

Morotai butuh keberanian, bukan kebingungan moral dalam politik. Dan rakyat sudah bisa membedakan mana kritik yang membangun dan mana yang sekadar menyelamatkan kepentingan segelintir elite desa. Jadi, sudah waktunya Fraksi PSI Morotai kembali ke kompas moralnya. Jika tidak, maka rakyat akan menyimpulkan satu hal yang sangat menyakitkan; bahwa partai yang datang dengan janji perubahan ternyata tidak lebih dari aktor lama dengan naskah baru. (*)