Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

“Dan apabila di bacakan Al-Qur’an, dengarkanlah dan diamlah agar kamu dirahmati”. [QS.Al A’raf: 204]

OLEH orang awam dan kurang berpengetahuan, ayat di atas bisa saja diterjemahkan sebagai mengeraskan volume pengeras suara di menara-menara masjid menjelang waktu salat. Bahkan kalau perlu, pakai murotal yang tanpa spasi itu, makin lama durasinya makin bagus. Disanggah bahwa era ini sudah digitalisasi, dan lantunan pengajian itu bisa didengar di mana saja, bisa sambil bersantap, hingga jadi pengantar tidur, dan bukan lagi jaman “tape jadul gandeng radio 2 band” dan berenergi baterai Eveready, itu tak akan mempan mengubah cara berpikirnya. Anda bisa diklaim pendusta agama, hingga kafir.

Kita semua tahu, urusan volume pengeras suara di menara-menara tempat ibadah, pernah menjadi isu di Indonesia, isu yang bagi saya, tidak produktif dan menunjukkan kualitas pemahaman beragama kita. Tak kurang, Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla, hingga bersuara lantang.

Saya mengutip sebagian, ulasan dari Edy M. Yakub, media ANTARA, 27 Februari 2022 berjudul, Telaah – Gegap gempita Pengeras Suara Adzan dan “Framing ala Medsos :

Denpasar (ANTARA) – Percaya atau tidak, pengaturan pengeras suara adzan di masjid/musholla sesungguhnya bukan hanya monopoli Indonesia, tapi juga di Malaysia, Arab Saudi, India, Mesir, Nigeria, Bahrain, dan sebagainya. Dilansir dari Arab News (www.nu.or.id/23/8/2018), Arab Saudi mempunyai aturan ketat sejak 2015 yang hanya mengizinkan pengeras suara dipakai untuk keperluan azan, shalat Jumat, shalat Ied, dan shalat minta hujan. (Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/aturan-pengeras-suara-masjid-di-sejumlah-negara-KST9K).

Di Mesir, Menteri Wakaf Mohamed Gomaa melarang penggunaan pengeras suara masjid untuk menyiarkan shalat tarawih dan ceramah agama selama bulan suci Ramadan 2017, namun azan lewat pengeras suara tidak dilarang. Keputusan pemerintah Mesir melarang pengeras suara masjid digunakan untuk selain azan juga didukung oleh Universitas al-Azhar.

Terkait larangan sejak bulan Ramadan 2018 itu, Al-Azhar mengatakan pengeras suara bisa mengganggu pasien di rumah sakit atau manula dan sebabnya bertentangan ajaran Islam. Bahkan, Mesir melarang masjid menggunakan pengeras suara saat tarawih selama bulan suci Ramadan.

Bahrain juga sama melarang penggunaan pengeras suara di masjid selain untuk adzan. Di Malaysia, aturan ihwal pengeras suara masjid bergantung pada negara bagian masing-masing. Penang, Perlis dan Selangor, termasuk negara bagian yang melarang pengeras suara digunakan selain untuk adzan. Di Uni Emirat Arab (UEA), Pemerintah setempat tidak menerbitkan ketentuan khusus mengenai pengeras suara masjid. Namun, UAE menggariskan suara adzan tidak boleh melebihi batas 85 desibel di kawasan pemukiman agar tidak mengganggu aktivitas warga setempat. Februari 2017, UEA menertibkan pengeras suara masjid di ibu kota Dubai melalui instruksi Departemen Urusan dan Kegiatan Amal Islam UEA (IACAD).

“Di India, Pemerintah mengawasi penggunaan pengeras suara yang tak berizin di masjid-masjid. Aturan nasional antara lain membatasi volume pengeras suara di ruang publik menjadi maksimal 10 desibel di atas volume derau di sekitar atau 5dB di atas volume bunyi-bunyian di ruang pribadi. Aturan yang juga didukung ulama Islam India ini diterbitkan untuk menjamin ketertiban umum. Lain halnya dengan Nigeria, pihak berwenang di wilayah Lagos tak segan-segan menutup 70 gereja, 20 masjid dan 10 hotel, pub dan kelab malam terkait suara bising yang ditimbulkan mulai dari nyanyian di gereja hingga azan masjid yang menggunakan pengeras suara. Dikutip dari Tirto, keputusan itu tak lepas dari upaya Kota Lagos untuk bebas dari suara kebisingan pada 2020. Di Indonesia, penggunaan toa untuk keperluan ibadah diatur dengan instruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musholla, lalu diperbaharui dengan Surat Edaran (SE) Nomor 05/2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid/Mushala dari Menag Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut). lntinya, masjid diperkenankan menggunakan pengeras suara untuk azan dan pembacaan ayat Alquran maksimal 15 menit sebelum waktu salat. Selama salat masjid hanya boleh menggunakan pengeras suara di bagian dalam. SE Nomor 5/2022 yang mengatur volume pengeras suara sesuai dengan kebutuhan dan paling besar 100 dB (seratus desibel) itu bertujuan memperkuat keharmonisan. SE juga mengatur Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara diatur untuk Waktu Shalat dan Upacara Hari Besar Islam, diantaranya pengeras suara luar maksimal 10 menit untuk Subuh dan Jumat, lalu maksimal 5 menit untuk Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya”.

Di jumat pekan lalu, saya mengunggah potongan vidio pendek di Akun Facebook saya. Isinya bunyi pengajian murotal yang keras di masjid sebuah kampung agak ke ketinggian, di Tidore. Narasinya begini: Akar pertentangan, seringkali karena problem mindset.

Pengelola tempat ibadah mengeraskan bunyi pengajian dari Toa di Menaranya. Mereka mungkin berpikir bahwa mendengar ayat-ayat suci itu bisa meraup pahala. Selebihnya, mungkin juga untuk syiar agama. Bahkan mungkin, bisa menjadi “obat”, mengobati orang yang telah lansia, yang sedang terbaring sakit di sekitarnya.

Di benak mereka, semua orang akan berpikir dengan pemahaman begini. Dan sudah menjadi resiko, berdomisili dekat dengan tempat ibadah, diterpa bunyi yang keras setiap waktu.

Warga, khususnya yang ada di tiris tempat ibadah, justeru berpikir terbalik, bahwa cara berpikir begini keliru. Bunyi pengajian di toa yang keras dan dengan durasi yang lama, di luar ketentuan sariat seperti adzan, justru sangat mengganggu ketenangannya dalam banyak hal. Bahkan mungkin pengelola tempat ibadah dipandang awam karena tak memahami apa itu defenisi dan efek pencemaran suara. Syiar itu, mungkin perlu ketika Kita berada di lingkungan yang minoritas. Juga, masih banyak jalan untuk meraup pahala tanpa mengganggu ketenangan warga. Bahkan, bisa saja menjadi faktor yang memperburuk kondisi warga yang sedang terbaring sakit menahun karena tak bisa tertidur.

Seringkali, kebiasaan yang terpelihara sejak lama di lingkungan masyarakat yang masih tradisional dan homogen dan tak cukup alasan-alasan rasionalnya, masih tetap dipaksakan di lingkungan masyarakat yang lebih heterogen, berpendidikan dan cukup rasional. Wallahua’lam.
#Jumatmubarak

Kita hari ini, boleh jadi tumbuh dari lingkungan sosial serta latar kebiasaan yang berbeda di masa kecil, karena perbedaan akses terhadap kemajuan, bahkan pengetahuan dan pengalaman.

Oleh sebagian kita, mindset yang terbentuk itu, perlahan akan bergeser menjadi positif seiring bertambah pengetahuan dan pengalaman, atau bahkan berpindah domisili ke tempat lain, ke perkotaan. Ini fakta yang sangat normal dan logis terjadi di mana-mana, tak butuh teori untuk menjelaskannya. Tetapi ada juga yang sulit berubah, meski berpendidikan cukup dan luas pergaulannya. Ini bisa disebabkan karena mereka begitu “menghayati” kebiasaan di kampung, di masa kecil dulu, yang mentradisi. Mereka mengakses lingkungan sosial masyarakat kota dengan “tampilan lama”, hingga mencoba “memaksakan” dan menggiring kelompok yang lebih maju cara berpikirnya, mengikuti alam berpikirnya.

Sampelnya, sebuah komentar yang masuk ke unggahan saya, dari seseorang yang terpelajar, mempertanyakan apakah saya tak suka mendengar suara pengajian. Saya spontan mengeluarkan metode brain wash, cuci otak ala saya, dengan narasi unggahan lain, bahwa di tahun 70-an, mungkin sebelum anda lahir, di masa kecil saya sudah terbiasa mendengar pengajian dengan “tape jadul” yang masih menggunakan “energi manual”, baterai bermerk Eveready. Lantunan dari qari dan qariah terkenal di masa itu, sudah menghiasi memori kecil saya.

Apa maknanya yang bisa ditebak, bisa jadi religiusitas itu ditakar dari suka atau tidaknya orang mendengar lantunan ayat-ayat dalam kitab suci. Betapa begitu simpel dan sederhananya. Bisa dibayangkan jika itu dialami orang yang mungkin awam atau kurang terpelajar, beda lagi ceritanya. Tapi saya bersyukur, komentarnya menginspirasi tulisan ini.

Sampel lainnya dari kisah seorang karib, baru terjadi lagi kesekian kalinya di pekan kemarin. Ada seseorang pengelola masjid, dia bekerja di pulau sebelah. Setiap kali kembali, volume toa di menara masjid itu pasti berubah. Dan sudah pasti dibuat makin keras. Keluh-kesah tetangga di tiris masjid, yang juga adalah jamahnya, tak digubrisnya. Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Padahal para tetangga ini juga, tidak sedang “main drama”. Mereka menyuarakan fakta yang dialaminya, yang mungkin kita tak tahu. Yang pasti, fungsi tempat ibadah itu memersatu, bukan justeru jadi akar pertentangan. Belum jelas apakah ada sebab-sebab kelainan jiwa di sini.

Di saat tertentu, bunyi murotal, pengajian tanpa spasi dengan durasi hitungan jam itu, bisa menjangkau radius lebih satu kilometer, “melompati” masjid sekitar yang berjarak ratusan meter saja, yang juga punya jamah sendiri. Seperti tak ada dibenaknya, bagaimana rasanya jika sesama jamah kita, sudah merasa tak nyaman. Kita bisa membayangkan bunyi pengajian murotal yang keras, di menara yang tak tinggi, di pemukiman yang padat mengelilingi masjid, hingga durasinya dalam hitungan jam. Tentu sulit diterima akal orang normal. Jadi, kira-kira apa daya tarik lainnya yang jadi alasan dan bikin mereka betah, ditengah menjamurnya banyak masjid yang lebih mewah dan nyaman. Bagaimana mereka menyikapi ibadahnya berjamah. Wajar jika jamahnya makin berkurang, karena mereka sedang mencari ketenangannya beribadah, bukan mencari ring tinju.

Kata karib saya, dia baru pernah menemukan fakta seperti begini, di sepanjang usianya, yang nyaris dihabiskan di tiris tiga masjid sebelumnya, karena domisili sejak masa kecil. Ini benar-benar berbeda dan terasa aneh. Tetapi juga, hal-hal begini perlu diingatkan setiap waktu, karena ini bukan soal-soal personal, tetapi berkait dengan pemahaman dan prilaku beragama kita dilingkungan yang heterogen, dengan segala implikasinya.

Tak usahlah membedah apa itu defenisi abangan, santri dan priyayi, dalam karya Clifford Geertz, itu terlalu berat. Kutipan panjang di pembuka tulisan ini, sudah jelas dan cukup jadi panduannya. Jangan dibuat rumit.

Saya sengaja tak mengutip pandangan penulis ini tentang respon positif petinggi organisasi keagamaan besar di Indonesia, soal regulasi penertiban bunyi pengeras suara tadi. Juga perdebatan soal ‘illiat, ada sebab yang sah menurut agama untuk bisa membangunkan orang beribadah, misalnya di waktu subuh, meski tak bisa dipukul rata, karena konteks tulisan ini adalah bunyi pengajian, bukan tarhim, atau adzan. Lagi pula di jaman ini, semua punya penanda waktu sendiri, karena punya aplikasi di androidnya. Simpel dan tak ribet, kita saja yang hobinya suka cari-cari kerjaan.

Setiap orang secara naluriah, pasti menghendaki terlihat alim, paham hukum-hukum dan sariat agama. Tak salah kita mengesankan terlihat alim itu, betapapun hanya casing-nya. Toh, itu cuma kesan.
Yang keliru, memaksakan seolah kita paling paham hukum dan sariat agama. Saya mengingat kata-kata almarhum A.B Andili, Mantan Bupati Halmahera Tengah dulu, mengubah pola pikir masyarakat itu pekerjaan paling sulit. Wallahua’lam. (*)