Oleh: Asmar Hi Daud
Momentum Penentuan Arah
Universitas Khairun (Unkhair) Ternate kini berada di titik kritis dalam menentukan arah kepemimpinan barunya untuk periode 2025–2029. Pada Selasa, 6 Mei 2025, Senat Unkhair menetapkan tiga calon rektor terpilih setelah melalui tahap awal pemilihan yang diikuti oleh 41 anggota senat. Hasilnya: Prof. Dr. Abdullah W. Jabid memperoleh 18 suara, Prof. Dr. Abdu Mas’ud 9 suara, dan Dr. Hasan Hamid 8 suara.
Ketiganya akan melaju ke tahap akhir yang dijadwalkan berlangsung antara 15–26 Mei, dengan komposisi suara 65 persen dari senat dan 35 persen dari Menteri, sesuai Permendiktisaintek No. 19 Tahun 2017.
Visi di Atas Angka
Namun, lebih penting dari angka adalah substansi gagasan. Satu tahapan krusial telah lebih dulu digelar, yakni: forum penyampaian visi, misi, dan program kerja pada 5 Mei 2025. Forum terbuka ini, yang disaksikan langsung oleh sivitas akademika dan disiarkan oleh Kemenristekdikti—menjadi arena uji objektif yang mengukur kapasitas intelektual, integritas, dan arah kepemimpinan yang ditawarkan para calon.
Hasan Hamid dan Akar Kepulauan
Dalam forum itu, sosok Hasan Hamid tampil dengan narasi yang merefleksikan semangat perubahan. Ia tidak menjual jargon kosong, tetapi menawarkan visi Unkhair sebagai pusat keunggulan berbasis riset dan kearifan lokal. Visi ini hadir sebagai respons langsung terhadap tantangan pendidikan tinggi di kawasan timur Indonesia, sekaligus sebagai upaya mendorong universitas menjadi motor pembangunan Maluku Utara melalui kolaborasi lintas sektor.
Gagasan besarnya terangkum dalam satu visi utama: menjadikan Unkhair sebagai universitas yang berakar di kepulauan, bercirikan kemajemukan, dan bertumbuh ke dunia-global. Visi ini bukan hanya metafora geografis dan sosial, tetapi juga kompas strategis, memperkuat akar lokal sebagai fondasi identitas, mengelola kemajemukan sebagai kekuatan sosial, dan memperluas jejaring serta reputasi ke tingkat nasional dan internasional.
Misi, Mutu, dan Kepemimpinan Partisipatif
Misi yang ia usung mencakup reformasi tata kelola, peningkatan mutu SDM, internasionalisasi program studi, dan penguatan kampus sebagai ruang dialektika publik. Hasan Hamid memahami bahwa masa depan Unkhair tidak bisa dibangun lewat rutinitas administratif semata, melainkan memerlukan keberanian untuk memutus mata rantai mediokritas dan membangun budaya mutu yang berkelanjutan.
Lebih dari itu, pendekatan kepemimpinannya bersifat partisipatif. Ia mendorong pelibatan kolektif dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga alumni, dalam merancang arah baru universitas. Dalam kerangka ini, rektor bukan sekadar figur penguasa, melainkan fasilitator transformasi kolektif.
Legitimasi Gagasan dalam Arena Senat
Delapan suara yang mengalir ke Hasan Hamid bukanlah semata hasil dari kalkulasi politik, melainkan penanda kuat bahwa masih ada ruang bagi gagasan yang tulus dan keberanian intelektual dalam menentukan arah kepemimpinan kampus. Suara-suara itu mencerminkan kepercayaan terhadap visi yang menyentuh nurani—bukan visi yang dibalut retorika, tetapi yang mengajak untuk berpikir, merenung, dan bertindak.
Di tengah atmosfer senat yang kerap dipengaruhi manuver kekuasaan, kehadiran Hasan Hamid menjadi oase: ia berbicara bukan untuk memikat, melainkan untuk menggugah. Dan itulah yang membuat sebagian anggota senat memilih berdiri tegak di belakangnya.
Dalam konteks inilah, harapan besar tertuju pada Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi untuk menjadikan forum visi dan misi sebagai tolok ukur objektif dalam menilai siapa yang layak memimpin Unkhair ke depan. Kampus ini tidak boleh lagi disandera oleh agenda jangka pendek atau diplomasi kekuasaan semata. Ia membutuhkan pemimpin yang siap memikul beban gagasan dan komitmen pada subtansi bukan sekadar menikmati jabatan.
Unkhair butuh keberanian baru untuk menuntaskan visi besarnya. Dan mungkin, jawabannya adalah: ada pada Hasan Hamid.
Tinggalkan Balasan