Oleh: Asmar Hi Daud, Akademisi

Pemilihan Rektor Universitas Khairun Ternate periode 2025–2029 telah memasuki tahap krusial. Enam kandidat resmi ditetapkan oleh Senat Universitas pada 28 April lalu, dengan agenda pemaparan visi-misi dijadwalkan 5 Mei dan pemilihan sehari setelahnya. Namun di balik formalitas akademik ini, tersimpan peluang besar untuk menyambung kembali visi institusi yang selama ini berjalan setengah hati: menjadi universitas unggul berbasis kepulauan dan kemajemukan pada 2029.

Visi ini bukan barang baru. Ia dirumuskan sejak 2009 melalui sejumlah tonggak strategis. Namun hingga kini, penerjemahannya dalam praksis kelembagaan masih belum menyentuh inti persoalan: apakah arah kepemimpinan universitas selama ini selaras dengan arah strategis yang ia canangkan sendiri?

Sejak 1999, Universitas Khairun secara konsisten dipimpin oleh rektor berlatar ilmu sosial dan humaniora. Di bawah mereka, capaian administratif cukup menggembirakan dan patut diapresiasi: program studi bertambah, akreditasi meningkat, dan jaringan kerja sama meluas. Namun satu paradoks mencuat: visi berbasis kepulauan dan teknologi belum benar-benar dijalankan secara epistemik.

Jika visi Unkhair adalah menjawab tantangan pembangunan wilayah kepulauan melalui ilmu pengetahuan, maka pilar sains dan teknologi mestinya menjadi lokomotif institusi. Kenyataannya, fakultas seperti Perikanan, Teknik, dan MIPA belum diberdayakan sebagai penggerak utama. Riset kelautan, inovasi energi terbarukan, dan teknologi pertanian pulau kecil belum menempati posisi strategis dalam kebijakan kampus.

Hal ini semakin ironis mengingat lebih dari 90 persen penduduk Maluku Utara—yang terdiri dari 901 pulau dan 1.185 desa—tinggal di wilayah pesisir. Konteks geografis ini bukan sekadar data, tapi realitas sosial-ekologis yang menuntut pendekatan ilmiah, lintas-disiplin, dan berorientasi solusi.

Dari enam kandidat rektor, hanya satu yang berasal dari rumpun sains dan teknologi. Dominasi akademisi dari FKIP dan FEB mencerminkan pola lama yang masih berlanjut: pemilihan pemimpin bukan berdasarkan relevansi keilmuan terhadap visi, melainkan akomodasi atas pola kekuasaan yang mapan.

Ini bukan kritik personal terhadap individu kandidat, melainkan refleksi struktural atas kegagalan institusi menyelaraskan arah ilmiah dan arah kelembagaan. Universitas yang ingin menjadi garda depan perubahan harus terlebih dulu berani memilih pemimpin yang tepat secara epistemik.

Kini, Unkhair berada di simpang jalan. Ia bisa memilih melanjutkan tradisi kompromi yang nyaman, atau mengambil lompatan strategis dengan memercayakan kepemimpinan kepada figur yang memahami realitas kepulauan dari laboratorium, dari riset lapangan, dan dari keprihatinan terhadap masyarakat pesisir yang tertinggal.

Senat Universitas memegang peran moral yang sangat menentukan. Pemilihan rektor bukan sekadar prosedur administratif, tetapi cerminan integritas akademik dan keberanian moral. Kampus harus berdiri di atas nilai, bukan hanya strategi. Jika proses seleksi hanya menjadi arena akomodasi kepentingan jangka pendek, maka yang dikorbankan adalah masa depan institusi—dan generasi yang berharap padanya.

Sudah saatnya Unkhair memilih pemimpin yang bukan hanya administratif, tetapi juga visioner secara ilmiah. Pemimpin yang tidak hanya hadir di podium, tetapi juga di laboratorium dan komunitas. Yang tak hanya paham kebijakan, tetapi juga memahami tantangan ekologis, sosial, dan teknologi khas wilayah kepulauan.

Pemilihan Rektor 2025 adalah peluang langka untuk menyambung kembali visi yang sempat menjauh dari relnya. Ini momen untuk meluruskan arah—bukan sekadar memilih orang, tapi memilih masa depan. Jika peluang ini kembali dilewatkan, kita bukan hanya kehilangan momentum, tapi sedang menulis satu bab baru dari ironi panjang: universitas yang hebat di atas kertas, tapi belum sungguh hadir di akar realitasnya.