Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_______
DI pekan kemarin, di sebuah acara tahlilan kematian tetangga, saya bersua karib dari kampung sebelah ini. Dia seorang kuli bangunan, langganan salah satu perusahaan penyedia jasa kegiatan pemerintah berskala kecil, “spesialis” PL (penunjukan langsung). Dia sedikit bertutur tentang kiatnya menyiasati asap dapur keluarganya di Ramadan kali ini, dengan berbagai cara, termasuk pekerjaan domestik semisal membersihkan rumah tetangga ataupun temannya, jika diminta. Ini karena belum ada “orderan” pekerjaan hingga di bulan ketiga tahun ini. Sesuatu yang tak biasa bagi karib ini.
Masih di pekan kemarin pula. Dari sebuah media, terbaca komentar Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara Ikbal Ruray, hingga triwulan 3 di 2025 ini, penyerapan anggaran pemerintah provinsi Maluku Utara baru 11 persen, menyusul perdebatan panas dalam rapat kerja salah satu komisi DPRD dengan pemerintah daerah yang diwakili tim anggaran pemerintah daerah (TAPD).
Masih di pekan kemarin, yang jadi “pekan panas” hubungan antar pemerintah daerah provinsi Maluku Utara dengan DPRD, dua ekonom di daerah ini, saling beda pandangan dan berbalas pantun menanggapi kebijakan pengetatan anggaran dan “kunci kran” untuk item belanja tertentu, oleh gubernur. Yang mengemuka adalah belanja modal. Itu setelah kebijakan pembayaran TPP dan THR pegawai hingga euforia pembagian bantuan sosial di mana-mana. Ketiga item belanja ini dipandang sebagai instrumen paling efektif dan mendesak menyiasati lesunya daya beli di tengah memontum Ramadan, yang jadi pemicu grafik konsumtif naik tajam.
Sekurang-kurangnya, poin yang bisa dicermati dari perdebatan di media, yang menyita banyak perhatian dan tanggapan itu, apakah belanja modal pemerintah daerah yang tertera di APBD provinsi Maluku Utara itu, bisa jadi instrumen yang efektif menggerakan potensi belanja dan menggairahkan pasar, hingga jadi pemantik ekonomi daerah, dalam situasi Ramadan hingga jelang Idul Fitri di level provinsi. Lagi pula, dalam situasi kebijakan pengetatan dan penghematan anggaran secara nasional yang luar biasa saat ini.
Saya bukan ekonom. Dan tak pandai menggunakan terminologi teknis ekonomi. Tetapi bagi saya, tak penting dari mana sumbernya di APBD, dan apa nama item kegiatan itu, satu rupiah yang sampai ke tangan warga, sebagai akibat implikasi kebijakan ekonomi pemerintah daerah, harus bisa terlacak bagaimana prosesnya yang terukur dan akuntabel.
Mendebatkan dan mempersoalkan seberapa efektif dari implikasi kebijakan ekonomi pemerintah daerah di level propinsi, soal apa jenis belanjanya hingga dalam situasi seperti apa kebijakan itu harus dieksekusi, rasanya terlalu gegabah, kalau tak bisa dibilang main tabrak saja. Maksudnya begini, warga Maluku Utara dari segmen dan level ekonomi mana saja, secara administratif kependudukan dia adalah warga yang punya kartu tanda penduduk di kabupaten dan kota. Apakah pemerintah daerah, terlebih DPRD, merasa paling berkepentingan “mengawal” potensi belanja dan daya beli setiap warga, yang mungkin saja tak terlalu dipikirkan pemerintah daerah tempatnya berdomisili. Dengan begitu, apa sih urgensinya hingga mendebatkan urusan remeh temeh soal nilai dan prioritas pencairan anggaran program dalam pokok pikiran (pokir) DPRD di media secara luas, yang katanya “hanya” Rp 1 miliar per orang. Seolah kalau realisasi programnya jalan di pra Ramadan lalu, tersalurnya total uang senilai Rp 45 miliar dalam bentuk kegiatan misalnya, akan segera terbaca persentase dampak terdongkraknya sekian persen potensi daya beli bagi warga dengan level ekonomi rentan tertentu di kantong mana-mana saja, sehingga mengesankan ini sangat mendesak. Ini menghayal juga.
Tetapi belum sempat berlanjut lama perdebatan itu, Kamis dini hari, 27 Maret 2025, media Malut Pos menurunkan headline “Sherly Mulai Buka Kran”, menjamin pokir deprov aman, yang sehari sebelumnya, “Deprov Ultimatum Gubernur”. Tekanannya, tak boleh pangkas pokir dan sentil soal rendahnya penyerapan anggaran. Otomatis wacana media dari dua ekonom hebat Maluku Utara tadi jadi berhenti karena tak lagi kontekstual alias sudah bergeser konteksnya dan pihak DPRD mulai diam, tuntas.
Bagi saya, ada kondisi objektif, konteks masalah dan tantangan mewujudkan kemakmuran warganya bagi sebuah daerah, yang harus diletakan ulang dalam kerangka kebijakan pengetatan dan efisiensi anggaran secara nasional ini. Maksudnya, tak semua kepala daerah itu paham soal-soal kebijakan ekonomi yang efektif bagi karakteristik daerahnya, dimana realisasi belanja setiap rupiah yang tertera dalam APBD, dipandang berkorelasi sangat positif dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi daerah, kesempatan mengakses pertumbuhan itu, hingga kualitas hidup warga yang secara matematik bisa diukur. Jika tak cukup penguasaan masalah ekonomi dari perangkat daerahnya, gunakan pihak lain yang lebih kompeten. Tak penting mekanisme seperti apa. Intinya, ada penasehat ekonominya. Ini, karena kita tak boleh serta merta dan sembarangan saja dalam urusan belanja daerah, karena memang kebijakannya yang kacau. Ada beberapa daerah di Indonesia yang beruntung pernah memiliki kepala daerahnya yang kapabel dan tepat. Meski kapasitas fiskal yang terbatas dan daya saing potensi daerah yang rendah, tetapi punya kepala daerah yang visioner, punya kapasitas intelektual yang cukup, punya daya kreasi dan imajinasi yang kuat. Sebut saja provinsi Gorontalo saat dipimpin Fadel Muhammad, kabupaten Bantaeng di masa Nurdin Abdullah, dan lain-lain. Mereka hadir bak juru penyelamat, membawa berkah bagi daerahnya.
Di Maluku Utara, APBD setiap daerah memiliki daya tahan “turbulensi” masalah yang berbeda. Daerah yang kekuatan belanjanya masih dominan dari investasi pemerintah melalui APBD dan nyaris tak ada perlakuan swasta dan potensi lain, pasti punya stabilitas fiskal yang berbeda potensi turbulensinya. Naik turun grafik kecenderungan belanja dan konsumsi, berbanding lurus dengan bergesernya angka-angka di penanggalan (kalender) waktu.
Di Kota Tidore Kepulauan misalnya, secara kasat mata bisa dilihat bahwa APBD masih menjadi satu-satunya instrumen pendorong potensi belanja, konsumsi dan penggerak ekonomi daerah. Sehingga jika terjadi desain kebijakan ekonomi yang tak jelas kerangka konseptualnya, tak terukur impact-nya hingga tak jelas filosofinya, akan berdampak sistemik bagi kualitas hidup warganya pada jangka panjang.
Di daerah yang dominasi APBD-nya sangat dominan, cukup mudah dibuat asumsi kemana arahnya setiap rupiah dari komponen belanja modalnya yang akan bermuara. Berapa proporsi dari akumulasi belanja pegawai di APBD itu, mudah di ketahui. Apalagi dengan karakteristik kota pulau, yang “pelarian” potensi belanja keluar daerah itu, cukup mudah diidentifikasi.
Di kasus tertentu, ada variabel lain yang kuat “daya rusak”nya, tim sukses. Kelompok yang hanya didominasi oleh beberapa wilayah kampung tertentu, sebagai basis kemenangan kandidat kepala daerahnya tetapi menguasai dominan porsi belanja modal di APBD karena ada perlakuan lain. Implikasi belanja dan perputaran uang sangat mungkin dominan di kampungnya dalam 5 tahun. Sama halnya, kita menciptakan kantong-kantong ketidakberdayaan ekonomis baru di kampung lainnya.
Karib saya tadi bilang, di akhir Februari hingga paling lambat awal Maret tahun berjalan, pekerjaan kegiatan fisik klasifikasi PL ini sudah bisa jalan. Dia dan dua temannya, pekerja tetap pada salah satu perusahaan/rekanan dari kampung tertentu tadi, yang biasa menggarap kegiatan pokir DPRD itu, sudah bisa bernafas lega menyambut Ramadan hingga Idul Fitri. Realisasi pokir dan seberapa kuat jadi salah satu variabel pendorong konsumsi dan belanja di daerah ini relatif terukur karena maura akhir nominal selisih bagian yang jadi upah karib saya ini, bisa dilacak dan dikwmuantitatifkan dalam perhitungan implikasi ekonomisnya. Bagi saya, berbeda menghitung implikasi ekonomisnya Rp 41 miliar total pokir tadi, andai semuanya item belanja modal kegiatan fisik berjalan, karena lokus dan karakteristik pemerintahan yang berbeda. Mirip rekanan dan penyedia jasa dari luar daerah. Jika material hingga tenaga kerja didatangkan juga dari luar, maka daerah mungkin hanya berharap ada kualitas pekerjaan yang lebih baik, ditambah kompensasi fee yang mungkin untuk penyedia kegiatan. Nyaris tak ada implikasi ekonomis apa-apa bagi daerah.
Dalam kondisi normal seperti di tahun-tahun sebelumnya, di waktu begini, karib saya ini mungkin bisa sedikit lebih santai dengan Android butut di serambi rumahnya yang sederhana itu, sembari mengirim satu persatu pesan ke kerabatnya: Selamat hari raya idul fitri, maaf lahir dan batin. Tapi kali ini, mungkin tidak. Itu karena, belanja modal tadi, belum jadi modalnya untuk berbelanja. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan