Budak Elektoral
Oleh : Igrissa Majid
Direktur Indonesia Anti-Corruption Network
_______
SAYA pernah menggunakan istilah budak elektoral di sebuah artikel bertajuk “24 Tahun Maluku Utara: Neo-Despotisme dan Trah Politik Abal-Abal” di media yang sama. Penggunaan istilah ini sebagai potret terhadap masalah disorientasi demokrasi hari-hari ini, khususnya di Maluku Utara, tentunya.
Disorientasi yang dimaksud pada gilirannya memperlihatkan kualitas rezim dalam demokrasi di setiap lintas periode kepemimpinan daerah. Kita bisa mengambil contoh, pengalaman historis dari sejak 2004 hingga 2024, oleh dua navigator yang berbeda, tentang mimpi perubahan Maluku Utara justru tidak kunjung nyata. Kalaupun ada, tidak seberapa. Minim sekali.
Penting untuk dicatat, dua dasawarsa sudah, dalam rentang waktu yang cukup lama, ternyata kita belum sepenuhnya mencapai puncak kesadaran. Kita hanyalah budak kekuasaan: dimanfaatkan, dikendalikan, dan ditunggangi ketika menjelang hajatan elektoral, dan diabaikan di atas kepentingan bersama.
Saya yakin, penyebutan budak elektoral sangat mengganggu mereka yang punya kepentingan pribadi, terlebih dari kelompok yang hari-hari petantang-petenteng membual dengan gagasan kekuasaan. Tapi memang demikian, keadaan untuk mencapai demokrasi substansial itu nyaris tidak ada. Terutama soal akses kesejahteraan ekonomi yang menguntungkan kita semua.
Alih-alih, proses demokrasi itu hanya mencapai tingkat kuantitas untuk memilih siapa yang berkuasa. Sementara distribusi kekuasaan yang menciptakan kebaikan bersama tidak sampai pada ranah paling fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Di sini, mimpi mencapai pemerataan ekonomi pudar ketika kekuasaan diraih dengan cara tidak wajar.
Di ranah politik sendiri, setiap orang berpotensi untuk menjadi budak para aktor politik, karena ada cara dan kesempatan untuk dieksploitasi secara sistemik dengan alasan volunteristik untuk meraih kemenangan. Inilah kenapa, manusia pada dasarnya setara dalam kedudukan, harus menolak hierarki karena sadar akan kemerdekaan diri dan pikiran.
Komentar