Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
_______
SAYA punya teman masa kecil. Pendidikannya hanya setara SLTA. Bukan cuma itu, bahkan tergolong siswa yang bandel, sering bolos sekolah dan ranking kelasnya saat selesai ujian periodik sudah pasti, nomor satu, satu dari bawah.
Kami bersua setelah terhitung puluhan tahun, karib ini mengadu nasib ke Jakarta. Tak jelas apa pekerjaan yang dilakoninya di rentang yang panjang itu. Tapi ada satu hal yang bikin takjub: dia punya wawasan, cara berpikir bahkan mindset yang terbentuk, jadi luar biasa dalam melihat masalah. Ini terbaca dari keseluruhan isi obrolan singkat kami di senja itu. Seorang karib lain saat sedang berada di Jakarta, mengungkap kekagumannya terhadap efek interaksi masyarakat kota dengan sedikit canda: “di Jakarta ini, torang blum kuliah kong masi kalao saja so jadi pande, apalagi kuliah”_ [ di Jakarta ini, kita belum kuliah tapi baru datang saja sudah bikin jadi pandai, apalagi kuliah].
Di kisah lain, saya pernah “mengajari” seseorang. Dia terbilang karib saya di masa lalu. Dia cukup punya pendidikan hingga jabatan di sebuah pemerintahan daerah. Apa “materi kuliah” saya padanya, makna solidaritas sosial dan sikap empatik. Itu yang menonjol di malam itu. Dalam pandangan saya, ternyata memang dia relatif tak terlatih kepekaannya soal-soal begini, yang sudah saya duga jauh sebelumnya, dengan berkaca pada variabel ruang lingkup dan siklus bergaulnya yang terbatas dan cenderung homogen. Tesis saya relatif terbukti malam itu. Dia terkesan kaget seperti baru disadarinya. Bisa jadi, cerita tentang peradaban kelompok sosial itu, di semai dari lingkungan kelompok sosial model begini. Jika kita ikut hanyut terbawa “arus kesesatan” begini, berhenti membaca buku.
Saya pikir, tak butuh tumpukan buku yang banyak untuk menjelaskan bahwa dua situasi dengan latar subjek yang berbeda di atas adalah sesuatu yang normal, memang begitu. Lingkungan dan karakteristik di dalamnya adalah variabel paling dominan membuat seseorang jadi tercerahkan potensi kemanusiaannya. Di karakteristik lingkungan yang cenderung terbatas dan homogen, potensi dialektika personal hingga kelompok cenderung tak berkualitas. Orang terbiasa dengan cara berpikir, pengetahuan dan pengalaman yang terbatas. Jika itu terjadi dalam rentang yang panjang, terbentuklah mindset, yang membentuk pola pikirnya dan mempengaruhi tindak-tanduknya termasuk logika berargumen dan berpendapat.
Dalam banyak kasus hubungan-hubungan sosial, kita dibuat tak berkutik dengan tipikal begini, terkungkung cara berpikirnya. Kita tak berkutik karena sulit menerimanya, sesulit dia mengerti apa yang kita pahami. Hal yang paling berbahaya. Saya sering menyebut tipikal begini dengan istilah “stir kiri”, berpikir “kekiri-kirian”, cenderung tidak logis karena variabel logikanya tidak terpenuhi.
Seringkali kita menemui kata-kata “itu sudah menjadi keputusan rapat”. Ini menunjuk sejumlah hasil rapat yang dipandang tak logis. Pesannya, seberapa banyak pun peserta rapatnya, jika punya latar pendidikan dan pengalaman serta ruang lingkup wawasan yang terbatas, bisa dijamin hasil keputusan rapatnya pasti jauh dari logis. Ini logika suara terbanyak dalam berdemokrasi, demokrasi kuantitatif.Cukup punya banyak uang, bermodal ijazah ujian paket C dan bermukim di pelosok yang jauhpun, anda dengan mudah bisa terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sekurang-kurangnya Kepala Desa. Tentu berbeda dengan logika demokrasi kualitatif maksudnya.
Merenungi semua ini, saya jadi mengingat pesan Tuhan, surat Al-Hujurat ayat 13. Bahwa kita diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, bersuku-suku agar kita saling kenal. Pesan ini ditutup dengan menyebut kriteria orang yang paling mulia di sisi Tuhan. Sebagian ahli tafsir mengaitkan Asbabun Nuzul surat ini dengan larangan untuk memandang rendah orang dan atau suku lain, dari kisah sahabat Abu Hindin, ketika hendak di nikahkan dengan perempuan dari Bani Bayadah. Saya memaknainya dari sisi hubungan sosial dan kemasyarakatan sebagai variabel paling kuat untuk memaksimalkan potensi kemanusiaan kita. “Siapa kita”, harus tersanding atau merupakan hasil dari proses “metamerfosis” dengan “siapa dia” dan orang lain dari banyak latar sosiologisnya. Tak perlu banyak teorinya, simak saja contoh paling simpel di sekitar kita, kehidupan suku terasing, yang begitu terisolir dan terbatas. Ketika mengamati potongan vidio pendek beberapa warga suku terasing Tobelo Dalam [togutil] yang keluar dari “persembunyian” mereka, di sebuah kawasan pertambangan di kabupaten Halmahera Tengah beberapa waktu lalu, saya merenungi kamahakuasaan dan pesan Tuhan tadi. Betapa komunitas kehidupan yang terisolir dalam jangka lama dan dalam banyak hal, begitu merendahkan harga diri, harkat, martabat dan derajat kemanusiaan setiap kita.
Tinggalkan Balasan