C. Tantangan Kesehatan Mental Pasca Pemilu

Pemilu merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi yang menentukan arah kebijakan dan kepemimpinan suatu negara. Namun, di balik antusiasme dan ketegangan yang menyertainya, terdapat aspek yang sering terlupakan, yaitu dampaknya terhadap kesehatan mental masyarakat. Dalam sejarah demokrasi, pemilu seringkali diwarnai oleh kampanye yang kompetitif dan kontroversial. Dinamika pemilu tidak hanya menciptakan ketegangan politik, tetapi juga secara bermakna dapat memberikan dampak kesehatan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan.

1. Stres Pemilu

Dalam pesta demokrasi atau dikenal Pemilu seperti saat ini, perlu diwaspadai munculnya stres yang dapat terjadi pada paslon, caleg, tim sukses, keluarga, relawan, simpatisan atau masyarakat biasa. Selama periode kampanye, masyarakat terpapar dengan berbagai informasi dan opini yang sering kali kontroversial. Tingkat stres pun dapat meningkat karena ketidakpastian terkait hasil pemilu.

Menurut penelitian stres politik dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental. Laporan dari American Psychological Association (APA) mengungkapkan bahwa 68% dari populasi dewasa di Amerika merasa bahwa Pilpres AS 2020 merupakan sumber stres yang signifikan dalam kehidupan mereka. Sebelumnya, hubungan antara stres dan pemilu telah terbukti dalam sebuah studi tentang pemilu lokal di Rajasthan, India, pada tahun 1995. Penelitian tersebut menemukan bahwa dari 114 partisipan yang diteliti, sebanyak 47,4% menganggap pemilu sebagai peristiwa kehidupan yang menimbulkan tekanan pada pemilih. Penelitian ini menekankan bahwa dampak traumatis tidak hanya dirasakan oleh kelompok yang kalah dalam pemilihan, tetapi juga oleh kelompok lainnya.

2. Media Sosial sebagai Pemain Utama

Peran media sosial dalam membentuk opini publik semakin krusial selama periode pemilu. Interaksi yang intens di media sosial berkaitan dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan. Selama masa kampanye pemilihan, masyarakat sering kali terkena dampak banjir informasi yang tak terhindarkan. Fluktuasi terus-menerus dalam liputan tentang pemilu dapat menimbulkan kecemasan, kelelahan, dan stres di kalangan masyarakat, terutama liputan pada media televisi.

Diskusi yang intens di platform-platform tersebut dapat menciptakan polarisasi dan meningkatkan ketegangan politik. Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 56 persen responden menyatakan kekhawatiran akan polarisasi yang ditimbulkan oleh pemilu. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh peristiwa traumatis perpecahan kelompok dan ujaran kebencian yang masih melekat hingga saat ini dampak dari pada pemilu sebelumnya.

Setelah pemilu, masyarakat mengalami beragam perasaan, mulai dari kekecewaan hingga euforia. Penyesuaian terhadap hasil pemilu yang tidak sesuai harapan dapat berdampak pada kesehatan mental. Caleg yang mengalami stres karena kekalahan dalam pertarungan hampir selalu terjadi pada setiap pemilihan umum.

Sebuah laporan dari BBC Indonesia menyebutkan bahwa beberapa caleg bahkan merasa begitu malu dan putus asa sehingga sulit menghadapi keluarga mereka setelah kegagalan dalam pemilu. Seorang dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) pada salah satu rumah sakit jiwa di Jakarta mengatakan kasus masalah kesehatan mental cenderung meningkat pasca momen pemilihan calon legislatif. Tak hanya pada orang-orang yang gagal terpilih, melainkan juga pada keluarga dan pendukung calon yang bersangkutan. Masalah kesehatan jiwa meningkat pasca pemilu, terutama terjadi karena gagal meraih suara, banyak mengeluarkan uang, ekspektasi tidak terpenuhi sehingga mengalami gangguan tidur, cemas, kemudian panik, hingga depresi.