Kita sadar bahwa debat itu tidak sesederhana saya bertanya dan anda menjawab. Apalagi debat dalam kontestasi politik. Ada banyak variabel yang dipikirkan dan dianalisis untuk bisa memenangkan opini bagi kandidat mereka di pasar politik. Dan opini itu tak serta merta diperoleh ketika anda bisa menjawab sebuah pertanyaan. Ada strategi, taktik dan trik, performa dan gestur hingga psikologi lawan.

Di debat malam ini, sentimen positif Gibran akan meningkat tajam sebanding dengan sentimen negatif pasca putusan MK soal usia, komentar karib lainnya. Kicauan ini, paling tidak terkonfirmasi dari polling media ternama yang disodor karib di atas.

Di zaman saya, dan kita yang seusia, jasa pengiriman uang bulanan mahasiswa paling tenar adalah wesel pos. Orang tua kita menitip sejumlah uang di kantor pos dan “om pos” tinggal mengantar “amplop sakti” berwarna coklat itu menemui kita, yang berhari-hari menunggu dengan ekspresi duka. Kita menukarnya dengan nilai uang yang dikirim tadi di kantor pos terdekat. Teknologi transaksi wesel pos ini, “bersaudara kandung” dengan fasilitas telepon bertarif murah di larut malam saat itu, interlokal.

Sedangkan startup bisa diartikan perusahaan rintisan yang berbasis metode dan sistem tertentu yang mengandalkan teknologi IT dalam kecepatan pemasaran, kreativitas produk, strategi pasar serta segmen pasar yang terukur. Berbelanja secara online berbasis digital saat ini adalah salah satu implikasinya.

Ketika mengomentari kecepatan milenial dalam “mengobrak-abrik” dunia IT saat ini, saya menggunakan analog startup dan wesel pos, sebuah “dunia” yang jauh berbeda secara diametral, dari fakta yang diwakili debat semalam.

Saya tidak mengatakan bahwa para figur di debat semalam, mewakili dua kutub diametral yang tajam dalam analog startup versus wesel pos. Tetapi kita tak bisa menutup mata atas realitas bahwa banyak anak-anak muda kini, berakytifitas “di bawah tanah”, tetapi bukan di terowongan Hamas. Di dunia mereka, dunia maya, yang kadang tak bisa dideteksi kita-kita dan seringkali membuat kita begitu apriori dan memandang mereka dengan sebelah mata. Fakta debat semalam, menghentak kita untuk segera “jujur” apa adanya, mengakui “kelemahan” kita, seperti kekhawatiran senior saya Syaiful Bahri Ruray tadi. Wallahua’lam. (*)