Oleh: Asghar Saleh
________
KESAKITAN di saat mati lebih terasa ketimbang seratus kali kegembiraan di saat lahir. Penyair Mesir Abul Alaa Al Ma’ari menuliskan ini sebagai bagian dari protesnya pada pesta kebathilan yang riuh dan gaduh. Di luar pesta itu, orang ramai melupakan kebajikan. Mereka seperti membenarkan pandangan Imanuel Kant yang mengatakan kebajikan akan menang di dunia yang lain. Hal-hal baik tak punya ruang yang cukup besar dalam ingatan kolektif.
Lima tahun lalu, dalam sebuah diskusi tentang pergerakan nasionalisme di Ternate, sebuah nama mencuat. Nama itu merujuk pada sebuah plang nama jalan di pusat kota yang mengabadikan namanya. Hasan Senen namanya. Tapi tak ada yang peduli. “Orang ramai melupakan kebajikan”. Nama ini sayup-sayup hanya diakrabi kalangan dekat. Mereka mengenangnya sebagai sebuah romantisme. Padahal jejaknya nyaris sama dengan Arif Rahman Hakim, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang meninggal karena tertembak dalam demontrasi menuntut Tritura pada 24 Februari 1966 di Jakarta.

Saya menyebut nyaris sama karena keduanya tertembak di tengah massa demonstrasi. Hasan tertembak di Ternate. Ia jauh lebih muda dari Arif. Ia masih seorang bocah yang turun ke jalanan untuk melawan kekejian PKI. Hari itu amarah membakar Ternate. Ribuan orang meradang. Sastrawan Zainuddin M. Arie, menarasikan perlawanan itu dalam sebuah puisi yang epik.
12 Oktober
Di Ternate, udara panas menyengat kota
Udara panas membakar kalbu, maka
Pelajar Ternate serentak tegak
Balakusu se kano kano tersentak
Udara panas bakari kota
Udara panas goresi mata
Orang-orang itu maju
Pelajar-pelajar itu merangsek
Serentak sederap, teriak
Ganyang, bubarkan
Ganyang, bubarkan
Ganyang, bubarkan!
Puisi ini tak sekadar menghentak kesadaran. Puisi sebagaimana karya-karya sastra lainnya menurut Goenawan Mohamad adalah saksi yang tak mati-mati. Ia adalah paradigma yang oleh Andre Malraux disebut sebagai “anti takdir”. Karena itu, puisi “Hasan Senen – Kapita Ampera Tak Bernama” seperti membuka tabir sosok Hasan Senen yang selama ini saya cari jejaknya. Dari Zainuddin jua saya dapat cerita yang agak utuh tentang tragedi ini. Ia memberi saya beberapa informasi penting tentang orang-orang yang jadi saksi mata penembakan itu. Salah satunya saya temui setelah saling berbagi informasi lewat telepon.

Menurut Din Senen, aktivis PII yang kini jadi dosen di UMMU Ternate, Hasan tertembak di perempatan dekat tangsi polisi. Tepatnya di depan bekas gedung Bank Mandiri. “Saya ada di situ. Tak jelas tembakan dari mana. Tiba tiba saja Hasan rubuh dengan tubuh bersimbah darah,” cerita Din. Massa demonstrasi bergerak liar. Beberapa orang menolong Hasan. Kabir Mahmud, Ketua II Pelajar Islam Indonesia (PII) berinisitif membopong Hasan. Baju Hasan yang penuh darah dirobek. Sebagian jadi ikat kepala, sebagian dijadikan bendera penanda perlawanan.
Tinggalkan Balasan