Oleh: Asghar Saleh/Edmond Adhary/Ghad Hasan

_______

EMPAT anak muda duduk meriung. Salah satunya memegang tape kecil yang dilekatkan ke telinga. Matanya tak berkedip. Ia serius mendengar sebuah lagu yang diputar dari sebuah kaset berpita. Tak berselang lama, tape kecil itu berpindah tangan. Tiga anak muda yang lain melakukan hal yang sama. Mendengar lagu pada masa itu tergolong sesuatu yang mewah. Mendengar juga jadi semacam “cara belajar” dengan meniru notasi atau lirik sebuah lagu. Ada keinginan untuk menguasainya. Sebuah pepatah kuno dari Swedia menyebut: mereka yang berkeinginan menyanyi akan selalu mendapati sebuah lagu.

Jika lagu-lagu yang akan ditiru itu berbahasa Indonesia dan berirama melayu, mungkin ritual “belajar” jadi lebih mudah. Tapi bagaimana jika lagu-lagu itu bergenre hard rock semisal “Highway Star”, “Smoke In The Water” dan “Burn” milik Deep Purple yang sedang merajai tangga musik di Eropa dan Amerika. Atau lagu-lagu hits punya Led Zappelin, Roling Stones dan Beatles.

“Kami belajar dengan meniru lagu yang didengar. Mengikuti notasinya. Menulis liriknya satu-satu. Sisanya mengandalkan feeling,” ungkap Hasan Minggu dengan netra berbinar saat kami bertemu dalam suasana lebaran di rumahnya yang tenang di bilangan Ngidi Ternate. Hasan, 75 tahun adalah pentolan Karya Nada band – sebuah grup band yang merevolusi selera musik di Ternate dekade 70an. Kota kecil di kaki gunung Gamalama ini kala itu masih identik dengan irama gambus dan keroncong. Penduduknya masih sedikit. Listrik hanya menyala saat malam hari.

The Rocks Band. (Istimewa)

Saat Deep Purple yang dihuni Jhon Lord, Ritchie Blackmore, Nick Samper, Ian Paice dan Rod Evans mengguncang Inggris dengan musik rock, dentumannya ternyata terdengar hingga ke Ternate. Tak hanya selera musik, dentuman itu ikut merubah perilaku sosial dan budaya sebagaimana pendapat antropolog Bronislaw Malinowski: budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya. Anak-anak muda lebih berani tampil beda. Ada gairah kolektif yang meletupkan “pemberontakan”.

Semuanya bermula saat Rexy Heuvelmann datang ke Ternate tahun 1968. Ia membawa alat musik baru dan banyak kaset lagu-lagu bergenre rock. Yang paling menarik adalah seperangkat drum yang lengkap mulai dari snare drum, tom tom dan simbal hit hat serta bass drum dengan tambahan pedal yang dapat mengoptimalkan penggunaan kaki untuk mengatur ritme. Seperti berjodoh, Hasan dan beberapa anak muda lain langsung tertarik. Mereka sering latihan bersama. Semuanya menyukai musik rock. Lalu atas inisiatif Rexy, mereka membentuk The Rocks. Sebuah grup band yang bergenre musik cadas sebagaimana namanya.