Oleh: Irfan Hi. Abd Rahman
______
TERKESAN bombastis jika sepak bola bisa mengatasnamakan apa saja, mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan tak jarang ada yang mengatasnamakan agama. Bahkan dalam situasi tertentu sepak bola dapat dianggap sebagai ekspresi kekecewaan dan aspirasi bagi orang yang merasa tidak terakomodir keinginannya. Itulah sepak bola atas nama apapun permainan yang ini multikompleks, selalu berharga untuk dinikmati dalam berbagai sudut pandang kita masing-masing.
Ketika pertandingan sepak bola Piala Bupati Morotai ke II digelar, terlihat ibu kota Kabupaten Pulau Morotai dibanjiri banyak orang baik yang datang dari luar Morotai ataupun dari berbagai desa di Morotai mereka datang dengan berbagai latar belakang profesi, usia, agama, suku dan etnis semuanya berbaur antara satu dengan yang lain tanpa adanya perbedaan. Tidak berlebihan jika kita dapat mengatakan bahwa mereka datang dan disatukan oleh sepak bola. Situasi itu mulai berubah ketika terjadi keributan antara pendukung Lanal FC dan Darpan FC yang terlibat perkelahian antara suporter dan berujung pada pengambilan keputusan oleh panitia pertandingan lanjutan digelar tanpa disaksikan langsung oleh penonton.
Hiruk-pikuk menonton sepak bola di Morotai ibarat menonton dagelan di pangung Srimulat atau tayangan kriminal ala Bang Napi. Selalu ada banyolan, ledekan, makian, tertawaan dan ketakutan bahkan yang tidak tahu menahu tentang sepak bola pun ikut memberikan komentar. Jika di luar negeri bermain bola dianggap sebagai peluang besar, di Morotai justru dianggap sebagai sebuah perjuangan besar dan berdarah-darah. Jangankan mengincar karier dan prestasi, bermain aman dan nyaman saja susah diwujudkan. Sebab pemain dengan mudah bocor kepalanya karena disambit batu atau diserang official, penonton/suporter. Yang agak mendingan mungkin dihantam lawan entah di muka, kaki atau perut. Jika situasi demikian terjadi siapa yang mesti disalahkan? Siapa yang harus dimintai tanggung jawab? Apa keputusan yang tepat mesti diambil agar tidak merugikan banyak pihak? Tentunya kita akan dengan mudah menjawab yang mesti bertangung jawab adalah Askab PSSI Morotai dan panitia Bupati Cup II.
Keputusan digelar pertandingan lanjutan pada fase 9 dan 6 besar Piala Bupati Morotai tanpa penonton adalah keputusan keliru sebab mengusik rasa keadilan kita sebagai masyarakat Morotai. Bagaimana tidak? Pertandingan yang digelar menggunakan anggaran APBD Morotai namun justru tidak dinikmati masyarakat Morotai secara langsung. Padahal puncak pertandingan pada fase 9 dan 6 hingga babak ke 4 adalah pertandingan yang banyak dinanti karena dianggap akan memberikan hiburan lebih menarik bila dibandingkan dengan fase-fase sebelumnya.
Tinggalkan Balasan